BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Darah adalah suatu jaringan tubuh
yang terdapat di dalam pembuluh darah yang warnanya merah. Warna merah
keadaannya tidak tetap tergantung pada banyaknya O2 dan CO2 di dalamnya. Darah yang banyak mengandung CO2 warnanya merah tua. Adanya O2
dalam darah diambil dengan jalan pernapasan, dan zat ini sangat
berguna pada peristiwa pembongkaran atau metabolisme di dalam tubuh.
Darah merupakan jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yaitu:
- Bahan intraseluler adalah cairan yang disebut dengan plasma.plasma darah adalah cairan berwarna kuning yang dalam reaksi bersifat sedikit alkali. Kandungan dari plasma terdiri dari gas O2 dan CO2, hormone-hormon, enzim, antigen.
- Unsur-unsur padat, yaitu sel darah. Sel darah terdiri atas tiga jenis:
v Eritrosit (sel darah merah)
v Lekosit (sel darah putih)
v Trombosit (keeping-keping darah)
Volume darah secara keseluruhan
kira-kira merupakan satu perdua belas berat badan atau kira-kira 5
liter. Sekitar 55 % adalah cairan, sedangkan 45 % sisanya dari sel
darah. Dan jumlah ini dinyatakan dalam nilai hematokrit atau volume sel
darah yang dipadatkan yang berkisar antara 40-47. Volume darah dalam
kondisi sehat adalah konstan dan sampai batas tertentu diatur oleh
tekanan osmotik dalam pembuluh darah dan dalam jaringan.
Susunan darah, serum darah atau plasma terdiri atas:
- Air terdiri dari 91 %.
- Protein terdiri dari 8 % (Albumin, globulin, protrombin dan fibrinogen)
- Mineral terdiri dari 0,9 % (NaCl, Na2CO3, garam dari kalsium,fosfor, Mg dan Fe, dan seterusnya).
Sisanya diisi oleh sejumlah bahan organic, yaitu glukosa, lemak, urea, asam urat, kreatinin, cholesterol, dan asam amino.
Fungsi darah adalah sebagai berikut:
1) Sebagai sistem transport dari tubuh, mengantarkan semua bahan kimia, O2, dan zat makanan yang diperlukan untuk tubuh fungsinya normal dapat dijalankan dan menyingkirkan CO2 dan hasil buangan lainnya.
2) Mengantarkan O2 ke jaringan dan menyingkirkan sebagian dari karbon dioksida.
3) Sel darah putih
menyediakan bahan pelindung dan karena gerakan fagositosis dari beberapa
sel untuk melindungi tubuh terhadap serangan bakteri.
4) Plasma membagi protein
yang diperlukan untuk pembentukan jaringan, menstabilkan cairan jaringan
karena melalui cairan sel tubuh menerima makanannya dan sebagai
pengangkut bahan buangan ke berbagai organ exkretorik untuk dibuang.
5) Hormon, dan enzim diantarkan dari organ ke organ dengan perantaraan darah.
Pembekuan darah. Bila darah
keluar dari vaskulernya maka cepat menjadi lekat dan segera mengendap
sebagai zat kental berwarna merah. Gumpalan mengerut dan keluar cairan
bening berwarna kuning jerami, yang disebut serum. Bila darah
tersebut diperiksa dibawah mikroskop, terlihat benang-benang fibrin yang
tak larut yang terbenttuk dari fibrinogen dalam plasma oleh kerja thrombin. Benang
tersebut, jerat sel darah dan bersamaan membentuk gumpalan, dan
dikumpulkan dalam tabung reaksi maka akan terapung dalam serum.
Trombin adalah alat dalam mengubah fibrinogen menjadi benang fibrin. Trombin tidak ada dalam darah normal yang berada dalam pembuluh darah, tetapi yang ada adalah protombin, yang kemudian diubah menjadi zat aktif thrombin oleh kerja trombokinase. Trombokinase atau tromboplastin
adalah zat penggerak yang dilepaskan ke darah di tempattt yang luka.
Dan ini terbentuk karena terjadinya kerusakan pada trombosit, yang
selama ada garam kalsium dalam darah akan mengubah protombin menjadi
thrombin sehingga terjadi pengumpalan darah. Penggumpalan darah
diperlukan empat factor yaitu:
- a. Garam kalsium yang dalam keadaan normal ada dalam darah,
- Sel yang terluka yang membebaskan trombokinase,
- Trombin yang terbentuk dari protombin bila ada trombokinase, dan
- Fibrin yang terbentuk dari fibrinogen
Protombin dihasilkan dalam hati. Vitamin K diperlukan untuk mengahasilkan protombin.
Pengumpalan (koagulasi) darah dipercepat oleh panas yang sedikit lebih tinggi dari suhu badan, kontak dengan bahan kasar, atau dengan pembalut.
Diperlambat karena
dingin, kalau disimpan dalam tabung berlapis lilin disebelah dalamnya
sebab darah memerlukan kontak dengan permukaan yang dapat menjadi basah
oleh air sebelum dapat mengumpal sedangkan parafin tidak memiliki
permukaan yang basah oleh air, dapat ditambah kalium sitrat atau natrium
sitrat yang meyingkirkan garam kalsium yang dalam keadaan normal.
Trombus adalah
penggumpalan yang terbentuk dalam sirkulasi darah. Keadaan adanya
trombus ini disebut trombosis. Trombosis femoral dapat terjadi sesudah
operasi. Gumpalan dalam arteri koroner menyebabkan trombosis koroner. Bila sebagian dari gumpalan ini dilepas dan masuk sirkulasi darah disebut embolus.
Bila gumpalan ini melewati jantung dan masuk ke paru-paru melalui
salah satu arteri pulmonalis, maka sebuah pembuluh kecil atau besar
dapat tersumbat, dan terjadilah emboli paru-paru.
1.2.Rumusan masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
- Apa itu trombosit?
- Bagaimana proses pembekuan darah?
- Patofisiologi dari trombosit?
- Penyakit yang ditimbulkan akibat kelainan dari trombosit?
1.3.Batasan masalah
Dalam penyusunan makalah ini, hanya dibahas tentang trombosit terhadap indikasi penyakit.
1.4.Tujuan masalah
Tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berkut:
- Untuk mengetahui lebih luas tentang trombosit terhadap indikasi penyakit.
- Sebagai pengetahuan tambahan bagi rekan-rekan mahasisiwa baik teman sekelas maupun yang lainnya yang membaca makalah ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Tinjauan Umum
Trombosit (keping-keping darah)
adalah fragmen sitoplasmik tanpa inti berdiameter 2-4 mm yang berasal
dari megakariosit. Hitung trombosit normal dalam darah tepi adalah
150.000 – 400.000/µl dengan proses pematangan selama 7-10 hari di dalam
sumsum tulang. Trombosit dihasilkan oleh sumsum tulang (stem sel) yang
berdiferensiasi menjadi megakariosit. Megakariosit ini melakukan
reflikasi inti endomitotiknya kemudian volume sitoplasma membesar
seiring dengan penambahan lobus inti menjadi kelipatannya, kemudian
sitoplasma menjadi granula dan trombosit dilepaskan dalam bentuk
platelet/keping-keping. Enzim pengatur utama produksi trombosit adalah
trombopoetin yang dihasilkan di hati dan ginjal, dengan reseptor C-MPL
serta suatu reseptor lain, yaitu interleukin-11. Trombosit berperan
penting dalam hemopoesis, penghentian perdarahan dari cedera pembuluh
darah.
Trombosit atau platelet sangat
penting untuk menjaga hemostasis tubuh. Adanya abnormalitas pada
vaskuler, trombosit, koagulasi, atau fibrinolisis akan menggangu
hemostasis sistem vaskuler yang mengakibatkan perdarahan
abnormal/gangguan perdarahan (Sheerwood,2001).
Penegakkan diagnosis tentang
penyebab utama gangguan perdarahan amat penting dan hal ini dibutuhkan
ketelitian yang cermat, efektif, dan efisien dalam hal anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang semata-mata untuk
menghindari kesalahan diagnosis. Apapun penyebab gangguan perdarahan,
ternyata memberikan gambaran klinis yang hampir sama. Maka dari itu,
hampir semua kasus gangguan perdarahan membutuhkan pemeriksaan yang
lanjut demi tegaknya diagnosis penyakit tersebut (Candrasoma,2005).
Trombosit memiliki zona luar yang
jernih dan zona dalam yang berisi organel-organel sitoplasmik.
Permukaan diselubungi reseptor glikoprotein yang digunakan untuk reaksi
adhesi & agregasi yang mengawali pembentukan sumbat hemostasis.
Membran plasma dilapisi fosfolipid yang dapat mengalami invaginasi
membentuk sistem kanalikuler. Membran plasma ini memberikan permukaan
reaktif luas sehingga protein koagulasi dapat diabsorpsi secara
selektif. Area submembran, suatu mikrofilamen pembentuk sistem skeleton,
yaitu protein kontraktil yang bersifat lentur dan berubah bentuk.
Sitoplasma mengandung beberapa granula, yaitu: granula densa, granula a,
lisosome yang berperan selama reaksi pelepasan yang kemudian isi
granula disekresikan melalui sistem kanalikuler. Energi yang diperoleh
trombosit untuk kelangsungan hidupnya berasal dari fosforilasi oksidatif
(dalam mitokondria) dan glikolisis anaerob (Aster,2007; A.V Hoffbrand
et al, 2005; Candrasoma,2005).
Kelainan Perdarahan
ditandai dengan kecenderungan untuk mudah mengalami perdarahan, yang
bisa terjadi akibat kelainan pada pembuluh darah maupun kelainan pada
darah. Kelainan yang terjadi bisa ditemukan pada faktor pembekuan darah< atau trombosit. Dalam keadaan normal, darah terdapat di dalam pembuluh darah (arteri, kapilerdan vena).
Jika terjadi perdarahan, darah keluar dari pembuluh darah tersebut,
baik ke dalam maupun ke luar tubuh. Tubuh mencegah atau mengendalikan
perdarahan melalui beberapa cara.
Homeostatis adalah cara tubuh untuk mengentikan perdarahan pada pembuluh darah yang mengalami cedera.
Homeostatis adalah cara tubuh untuk mengentikan perdarahan pada pembuluh darah yang mengalami cedera.
Hal ini melibatkan 3 proses utama:
- Konstriksi (pengkerutan) pembuluh darah
- Aktivitas trombosit (partikel berbentuk seperti sel yang tidak teratur, yang terdapat di dalam darah dan ikut serta dalam proses pembekuan)
- Aktivitas faktor-faktor pembekuan darah (protein yang terlarut dalam plasma).
Kelainan pada proses ini bisa menyebabkan perdarahan ataupun pembekuan yang berlebihan, dan keduanya bisa berakibat fatal.
Fungsi Trombosit
Trombosit memiliki banyak fungsi,
khususnya dalam mekanisme hemostasis. Berikut fungsi dari trombosit
(A.V Hoffbrand et al, 2005): mencegah kebocoran darah spontan pada pembuluh darah kecil dengan caraadhesi, sekresi, agregasi, dan fusi (hemostasis).Sitotoksis sebagai sel efektor penyembuhan jaringan.
Berperan dalam respon inflamasi.
Cara kerja trombosit dalam
hemostasis dapat dijelaskan sebagai berikut : Adanya pembuluh darah yang
mengalami trauma maka akan menyebabkan sel endotelnya rusak dan
terpaparnya jaringan ikat kolagen (subendotel). Secara alamiah, pembuluh
darah yang mengalami trauma akan mengerut (vasokontriksi). Kemudian
trombosit melekat pada jaringan ikat subendotel yang terbuka atas
peranan faktor von Willebrand dan reseptor glikoprotein Ib/IX (proses
adhesi). Setelah itu terjadilah pelepasan isi granula trombosit mencakup
ADP, serotonin, tromboksan A2, heparin, fibrinogen, lisosom
(degranulasi). Trombosit membengkak dan melekat satu sama lain atas
bantuan ADP dan tromboksan A2 (proses agregasi). Kemudian dilanjutkan
pembentukan kompleks protein pembekuan (prokoagulan). Sampai tahap ini
terbentuklah hemostasis yang permanen. Pada suatu saat bekuan ini akan
dilisiskan jika jaringan yang rusak telah mengalami perbaikan oleh
jaringan yang baru. (Candrasoma,2005; Guyton,1997; A.V Hoffbrand et al,
2005).
MENCEGAH PENDARAHAN
Pembuluh darah merupakan
penghalang pertama dalam kehilangan darah. Jika mengkerut sehingga
aliran darah keluar menjadi lebih lambat dan proses pembekuan bisa
dimulai. Pada saat yang sama, kumpulan darah diluar pembuluh darah (hematom) akan menekan pembuluh darah dan membantu mencegah perdarahan lebih lanjut.
Segera setelah pembuluh darah
robek, serangkaian reaksi akan mengaktifkan trombosit sehingga trombosit
akan melekat di daerah yang mengalami cedera. Perekat yang menahan trombosit pada pembuluh darah ini adalah faktor von Willebrand, yaitu suatu protein plasma yang dihasilkan oleh sel-sel di dalam pembuluh darah. Kolagen dan protein lainnya (terutama trombin), akan muncul di daerah yang terluka dan mempercepat perlekatan trombosit.
Trombosit yang tertimbun di
daerah yang terluka ini membentuk suatu jaring yang menyumbat luka;
bentuknya berubah dari bulat menjadi berduri dan melepaskan protein
serta zat kimia lainnya yang akan menjerat lebih banyak lagi trombosit
dan protein pembekuan.
Trombin merubah fibrinogen
(suatu faktor pembekuan darah yang terlarut) menjadi serat-serat fibrin
panjang yang tidak larut, yang terbentang dari gumpalan trombosit dan
membentuk suatu jaring yang menjerat lebih banyak lagi trombosit dan sel
darah.
Serat fibrin ini akan memperbesar
ukuran bekuan dan membantu menahannya agar pembuluh darah tetap
tersumbat. Rangkaian reaksi ini melibatkan setidaknya 10 faktor
pembekuan darah. Suatu kelainan pada setiap bagian proses hemostatik
bisa menyebabkan gangguan. Pembuluh darah yang rapuh akan lebih mudah
mengalami cedera atau tidak dapat mengkerut.
Pembekuan tidak akan berlangsung secara normal jika jumlah trombosit terlalu sedikit, trombosit tidak berfungsi secara normal atau terdapat kelainan pada faktor pembekuan. Jika terjadi kelainan pembekuan, maka cedera yang ringan pun bisa menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Sebagian besar faktor pembekuan dibuat di dalam hati, sehingga kerusakan hati yang berat bisa menyebabkan kekurangan faktor tersebut di dalam darah.
Pembekuan tidak akan berlangsung secara normal jika jumlah trombosit terlalu sedikit, trombosit tidak berfungsi secara normal atau terdapat kelainan pada faktor pembekuan. Jika terjadi kelainan pembekuan, maka cedera yang ringan pun bisa menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Sebagian besar faktor pembekuan dibuat di dalam hati, sehingga kerusakan hati yang berat bisa menyebabkan kekurangan faktor tersebut di dalam darah.
Vitamin K (banyak terdapat pada
sayuran berdaun hijau) sangat penting dalam pembuatan bentuk aktif dari
beberapa faktor pembekuan. Karena itu kekurangan zat gizi atau
obat-obatan yang mempengaruhi fungsi normal vitamin K (misalnya
warfarin) bisa menyebabkan perdarahan. Kelainan perdarahan juga bisa
terjadi jika pembekuan yang berlebihan telah menghabiskan sejumlah besar
faktor pembekuan dan trombosit atau jika suatu reaksi autoimun menghalangi aktivitas faktor pembekuan.
Reaksi yang menyebabkan
terbentukan suatu gumpalan fibrin diimbangi oleh reaksi lainnya yang
menghentikan proses pembekuan dan melarutkan bekuan setelah keadaan
pembuluh darah membaik. Tanpa sistem pengendalian ini, cedera pembuluh
darah yang ringan bisa memicu pembekuan di seluruh tubuh. Jika pembekuan
tidak dikendalikan, maka pembuluh darah kecil di daerah tertentu bisa
tersumbat. Penyumbatan pembuluh darah otak bisa menyebabkan stroke;
penyumbatan pembuluh darah jantung bisa menyebabkan serangan jantung
dan bekuan-bekuan kecil dari tungkai, pinggul atau perut bisa ikut dalam
aliran darah dan menuju ke paru-paru serta menyumbat pembuluh darah
yang besar di paru-paru (emboli pulmoner).
GANGGUAN PERDARAHAN
Gangguan Perdarahan adalah sebagai berikut:
1.Cacat Vaskular
a. Purpura sederhana dan senilis(peningkatan fragilitas kapiler, khususnya pada usia lanjut)
b. Vaskulitis hipersensitivitas, banyak gangguan autoimun (peradangan)
c. Kekurangan vitamin C (skorbut, kolagen defektif)
d. Amiloidisis (pembuluh yang gagal berkontriksi)
e. Adenokortikosteroid berlebih (terapeutik atau penyakit Cushing)
f. Telanglektasia hemoragik herediter (sindrom osler-weber-rendut)
g. Penyakit Ehlers-dahlons (kolagen defektif)
h. Purpura Henoch-schonlein
i. Sindrom marfan (elastin defektif)
2.Gangguan Trombosit
a. Menurun (trombositopenia)
b. Fungsi trombosit abnormal
3.Gangguan Koagulasi
a. Defesiensi faktor koagulasi
b. Keberadaan faktor antikoagulan
4.Fibrinolisis Berlebihan
a. Koagulasi intravaskular diseminata
b. Fibrinolisis primer
Perdarahan ke dalam kulit
a. Petekie : perdarahan fokal berukuran sebesar pentul
b. Purpura : multipel, berbentuk tidak beraturan atau lesi ungu oval (2-5 mm atau lebih besar).
c. Ekimosis (memar) : purpura
konfluen; semuanya menunjukkan perubahan warna berurutan-merah, ungu,
coklat-ketika eritrosit yang terekstavasasi terurai dalam jaringan.
d. Hematom : ekimosis meliputi daerah yang luas.
Perdarahan berlebihan atau memanjang.
Pasca trauma, sering trauma
minimal : pasca bedah (misalnya, pencabutan gigi), perdarahan
spontan(tanpa riwayat trauma) ke dalam otot rangka, sendi, dan otak.
Perdarahan dari permukaan mukosa.Epistaksis, perdarahan pada gusi, hemoptisis, hematuria, dan melena.Perdarahan dari berbagai lokasi
Perdarahan dari permukaan mukosa.Epistaksis, perdarahan pada gusi, hemoptisis, hematuria, dan melena.Perdarahan dari berbagai lokasi
OBAT-OBAT YANG MEMPENGARUHI PEMBEKUAN
Jenis-jenis obat tertentu bisa membantu seseorang yang memiliki resiko tinggi membentuk bekuan darah yang berbahaya. Pada penyakit arteri koroner
yang berat, gumpalan kecil dari trombosit bisa menyumbat arteri yang
sebelumnya telah menyempit dan memutuskan aliran darah ke jantung,
sehingga terjadi serangan jantung.
Aspirin dosis rendah (dan
beberapa obat lainnya) bisa mengurangi perlengketan antar trombosit
sehingga tidak akan terbentuk gumpalan yang akan menyumbat arteri.
Antikoagulan mengurangi
kecenderungan terbentuknya bekuan darah dengan cara mencegah aksi dari
faktor pembekuan. Antikoagulan seringkali disebut sebagai pengencer
darah, meskipun sesungguhnya tidak benar-benar mengencerkan darah.
Antikoagulan yang sering digunakan adalah warfarin (per-oral) dan heparin (suntikan).
Seseorang yang memiliki katup
jantung buatan atau harus menjalani tirah baring selama berbulan-bulan,
seringkali mendapatkan antikoagulan sebagai tindakan pencegahan terhadap
pembentukan bekuan. Orang yang mengkonsumsi antikoagulan harus diawasi
secara ketat. Pemantauan terhadap efek obat ini dilakukan melalui
pemeriksaan darah untuk mengukur waktu pembekuan dan hasil pemeriksaan
ini dipakai untuk menentukan dosis selanjutnya. Dosis yang terlalu
rendah tidak dapat mencegah pembekuan, sedangkan dosis yang terlalu
tinggi bisa menyebabkan perdarahan hebat.
Fibrinolitik adalah obat-obat yang membantu melarutkan bekuan yang telah terbentuk.
Segera melarutkan bekuan bisa
mencegah kematian jaringan jantung karena kekurangan darah akbiat
penyumbatan pembuluh darah. Fibrinolitik yang biasa digunakan untuk
melarutkan bekuan pada penderita serangan jantung adalah streptokinase,
urokinase dan aktivator plasminogen jaringan.
MUDAHMEMAR
Seseorang bisa mudah memar karena kapiler
yang rapuh di dalam kulit. Setiap pembuluh darah kecil ini robek maka
sejumlah kecil darah akan merembes dan menimbulkan bintik-bintik merah
di kulit (peteki) atau cemar ungu kebiruan (purpura).
Wanita lebih mudah mengalami
memar akibat cedera ringan, terutama pada paha, bokong dan lengan atas.
Kadang hal ini merupakan keturunan. Kebanyakan keadaan ini tidak serius,
tetapi bisa merupakan suatu pertanda bahwa ada sesuatu yang salah dalam
elemen pembekuan darah, terutama trombosit. Untuk mengetahuinya bisa
dilakukan pemeriksaan darah.
Pada usia lanjut (terutama jika banyak terkena sinar matahari), memar biasanya timbul di punggung tangan dan lengan bawah (purpura senilis).
Usia lanjut sangat mudah membentuk memar jika terbentur atau jatuh
karena pembuluh darahnya rapuh dan lapisan lemak dibawah kulitnya tipis.
Darah yang merembes dari pembuluh darah yang rusak akan membentuk
bercak ungu tua (hematom). Memar ini bisa menetap selama
beberapa waktu, dan pada akhirnya menjadi hijau muda, kuning atau
coklat. Mudah memar bukan merupakan penyakit dan tidak memerlukan
pengobatan. Untuk mengurangi memar, sebaiknya hindari cedera.
KELAINAN JARINGAN IKAT
Pada penyakit tertentu, misalnya sindroma Ehlers-Danlos, terdapat kolagen
(serat protein yang kuat di dalam jaringan ikat) yang lemah. Kolagen
mengelilingi dan menyokong pembuluh darah yang melewati jaringan ikat,
karena itu kelainan pada kolagen bisa menyebabkan pembuluh darah sangat
peka terhadap robekan.
Tidak ada pengobatan khusus, penderita sebaiknya menghindari cedera dan jika terjadi perdarahan harus segera diatasi.
Penyebab tidak terjadinya bekuan darah:
- Trombositopenia : konsentrasi trombosit yang rendah di dalam darah
- Penyakit von Willebrand : trombosit tidak melekat pada lubang di dinding pembuluh darah
- Penyakit trombosit herediter : trombosit tidak melekat satu sama lain untuk membentuk suatu sumbatan
- Hemofilia : tidak ada faktor pembekuan VII atau IX
- DIC (disseminated intravascular coagulation) : kekurangan faktor pembekuan karena pembekuan yang berlebihan.
2.2.Patofisiologi Trombosit
- Trombositopenia adalah penurunan jumlah trombosit kurang dari 200.000/mm3 dalam sirkulasi. Kelainan ini berkaitan dengan peningkatan risiko pendarahan hebat, bahkan dengan cedera ringan atau perdarahan spontan kecil.
Trombositopenia primer dapat
terjadi akibat penyakit otoimun yang ditandai oleh pembentukan antibody
terhadap trombosit. Misalnya pada:
v Penggantian darah yang masif atau transfuse ganti (karena platelet tidak dapat bertahan di dalam darah yang ditransfusikan)
v Pembedahan bypass kardiopaskuler
v Keadaan-keadaan yang
melibatkan pembekuan dalam pembuluh darah(komplikasi kebidanan, kanker,
keracunan darah, akibat bakteri gram negative, kerusakan otak traumatic.
Sebab-sebab Trombositopenia sekunder adalah berbagai obat atau infeksi virus atau bakteri tertentu. Misalnya pada penyakit:
v Infeksi HIV
v Obat-obatab (heparin,
kunidin,kuinin, antibiotic yang mengandung sulfa, beberapa obat
diabetesper-oral, garam emas, rifamicin)
v Infeksi berat disertai septicemia (keracunan darah)
v Keukemia kronik pada bayi
v Limpoma
v Purpura trombositopenik idiopatik (ITP)
Koagulasi intravaskuler
diseminata (disseminated intravascular coagulation, DIC) timbul apabila
terjadi trombositopenia akibat pembekuan yang meluas akibat:
v Anemia aplastik
v Hemoglobinuria noktural paroksismal
v Leukemia
v Pemakaian alcohol yang berlebihan
v Anemia megaloblastik
v Kelainan sumsum tulang
Manisfestasi Klinis
Pendarahan pada kulit bisa
merupakan pertanda awal dari jumlah trombosit yang berkurang,
bintuk-bintik keunguan seringkali muncul di tungkai bawah dan
cederaringan bisa menyebabkan memar yang menyebar.
Penyakit ini dapat menyebabkan
pendarahaan pada gusi. Di dalam tinja dan air kemih juga dapat ditemukan
darah. Pada penderita wanita, darah pada waktu menstruasi sangat
banyak. Pendarahan sulit berhenti sehingga pembedahan dan kecelakaan
bisa berakibat fatal bagi penderita. Jika jumlah trombosit semakin.
menurun, maka pendarahan akan semakin memburuk. Jumlah trombosit kurang
dari 5.000-10.000/ml bisa menyebabkan hilangnya sejumlah besar darah
melalui saluran pencernaan atau terjadi pendarahan di otak ( meskipun
otaknya tidak mengalami cedera ) yang dapat berakibat sangat fatal bagi
kehidupan penderita. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003)
- Trombositosis adalah peningkatan jumlah trombosit diatas 400.000/mm3 dalam sirkulasi. Dan ini berkaitan dengan peningkatan risiko trombosit dalam system pembuluh. Apabila terjadi berkepanjangan akan mengalami memar dan perdarahan, karena trombosit habis terpakai.
Trombositosis dibagi menjadi dua yaitu:
- Trombositosis primer
Trombositosis primer dapat
terjadi pada polisitemia vera atau leukemia grunulomasitik kronik
dimana bersama kelompok sel lainnya mengalami poliferasi abnormal sel
megakariosit dalam sumsum tulang.
- Trombositosis sekunder
Terjadi akibat infeksi, olahraga,
ovulasi, dan stress atau kerja fisik disertai pengeluaran trombosit
dari pool cadangan ( dari limpa) atau saat terjadinya peningkatan
permintaan sumsum tulang seperti pada pendarahan atau pada anemia
hemolitik. Jumlah trombosit yang meningkat juga ditemukan pada orang
yang limpanya sudah dibuang dengan pembedahan. Limpa adalah tempat
penyimpanan dan penghancuran utama trombosit, splenektomi tanpa disertai
pengurangan pembentukan sumsum tulang juga dapat menyebabkan
trombositosis. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson.,2003.)
2.3. Penyakit Akibat Gangguan Pembekuan Darah
A.HEMOFILI
Hemofilia adalah gangguan
koagulasi herediter akibat terjadinya mutasi atau cacat genetik pada
kromosom X. Kerusakan kromosom ini menyebabkan penderita kekurangan
faktor pembeku darah sehingga mengalami gangguan pembekuan darah. Dengan
kata lain, darah pada penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan
sendirinya secara normal. (Dr.Umar zein, 2008)
Hemofilia tak mengenal ras,
perbedaan warna kulit ataupun suku bangsa. Namun mayoritas penderita
hemofilia adalah pria karena mereka hanya memiliki satu kromosom X.
Sementara kaum hawa umumnya hanya menjadi pembawa sifat (carrier).
Seorang wanita akan benar-benar mengalami hemofilia jika ayahnya seorang
hemofilia dan ibunya pun pembawa sifat. Akan tetapi kasus ini sangat
jarang terjadi. Meskipun penyakit ini diturunkan, namun ternyata
sebanyak 30 persen tak diketahui penyebabnya. (Dr.Umar zein, 2008)
Ada dua jenis utama Hemofilia , yaitu:
- Hemofilia A:
Disebut Hemofilia Klasik. Pada
hemofilia ini, ditemui adanya defisiensi atau tidak adanya aktivitas
faktor antihemofilia VIII, protein pada darah yang menyebabkan masalah
pada proses pembekuan darah. ( Gugun,2007)
- Hemofilia B :
Disebut Christmas Disease.
Ditemukan untuk pertama kalinya pada seorang bernama Steven Christmas
yang berasal dari Kanada.pada Christmas Disease ini, dijumpai defisiensi
atau tidak adanya aktivitas faktor IX. (Gugun, 2007)
Penyakit hemofilia diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :
- Hemofilia berat, jika kadar aktivitas faktor kurang dari 1 %.
- Hemofilia sedang, jika kadar aktivitas faktor antara 1-5 %.
- Hemofilia ringan, jika kadar aktivitas faktor antara 6-30 %.
Gangguan pembekuan darah terjadi
karena kadar aktivitas faktor pembeku darah jenis tertentu kurang dari
jumlah normal, bahkan hampir tidak ada. Sementara tingkat normal faktor
VIII dan IX adalah 50-200 %. Pada orang normal, nilai rata-rata kedua
faktor pembeku darah adalah 100%. (Gugun,2007)
Faktor penyebab Hemofilia
- Faktor Genetik
Hemofilia atau pennyakit gangguan
pembekuan darah memang menurun dari generasi ke generasi lewat wanita
pembawa sifat (carier) dalam keluarganya, yang bisa secara langsung,
bisa tidak. Seperti kita ketahui, di dalam setiap sel tubuh manusia
terdapat 23 pasang kromosom dengan bebagai macam fungsi dan tugasnya.
Kromosom ini menentukan sifat atau ciri organisme, misalnya tinggi,
penampilan, warna rambut, mata dan sebagainya. Sementara, sel kelamin
adalah sepasang kromosom di dalam initi sel yang menentukan jenis
kelamin makhluk tersebut. Seorang pria mempunyai satu kromosom X dan
satu kromosom Y, sedangkan wanita mempunyai dua kromosom X. Pada kasus
hemofilia, kecacatan terdapat pada kromosom X akibat tidak adanya
protein faktor VIII dan IX (dari keseluruhan 13 faktor), yang diperlukan
bagi komponen dasar pembeku darah (fibrin). (Sylvia A.Price
&Lloraine M.Wilson., Patofisioogi klinik proses-proses penyakit
vol.1.)
- Faktor komunikasi antar sel
Sel-sel di dalam tubuh manusia
juga mempunyai hubungan antara sel satu dengan sel lain yang dapat
saling mempengaruhi. Penelitian menunjukkan, peristiwa pembekuan darah
terjadi akibat bekerjanya sebuah sistem yang sangat rumit. Terjadi
interaksi atau komunikasi antar sel, sehingga hilangnya satu bagian saja
yang membentuk sistem ini, atau kerusakan sekecil apa pun padanya, akan
menjadikan keseluruhan proses tidak berfungsi.. Jalur intrinsik
menggunakan faktor-faktor yang terdapat dalam sistem vaskular atau
plasma. Dalam rangkaian ini, terdapat reaksi air terjun, pengaktifan
salah satu prokoagulan akan mengakibatkan pengaktifan bentuk seterusnya.
Faktor XII, XI, dan IX harus diaktivasi secara berurutan, dan faktor
VIII harus dilibatkan sebelum faktor X dapat diaktivasi. Zat prekalikein
dan kiininogen berat molekul tinggi juga ikut serta dan juga diperlukan
ion kalsium. Koagulasi terjadi di sepanjang apa yang dinamakan jalur
bersama. Aktivasi faktor X dapat terjadi sebagai akibat reaksi jalur
ekstrinsik atau intrinsik. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa kedua
jalur tersebut berperan dalam hemostasis. Pada penderita hemofilia,
dalam plasma darahnya kekurangan bahkan tidak ada faktor pembekuan
darah, yaitu faktor VIII dan IX. Semakin kecil kadar aktivitas dari
faktor tersebut maka, pembentukan faktor Xa dan seterusnya akan semakin
lama. Sehingga pembekuan akan memakan waktu yang lama juga (terjadi
perdarahan yang berlebihan). (Sylvia A.Price &Lloraine
M.Wilson.,2003.)
- Faktor epigenik
Hemofilia A disebabkan kekurangan
faktor VIII dan hemofilia B disebabkan kekurabgab faktor IX. Kerusakan
dari faktor VIII dimana tingkat sirkulasi yang fungsional dari faktor
VIII ini tereduksi. Aktifasi reduksi dapat menurunkan jumlah protein
faktor VIII, yang menimbulkan abnormalitas dari protein. Faktor VIII
menjadi kofaktor yang efektif untuk faktor IX yang aktif, faktor VIII
aktif, faktor IX aktif, fosfolipid dan juga kalsium bekerja sama untuk
membentuk fungsional aktifasi faktor X yang kompleks (”Xase”), sehigga
hilangnya atau kekurangan kedua faktor ini dapat mengakibatkan
kehilangan atau berkurangnya aktifitas faktor X yang aktif dimana
berfungsi mengaktifkan protrombin menjadi trombin, sehingga jiaka
trombin mengalami penurunan pembekuanyang dibentuk mudah pecah dan tidak
bertahan mengakibatkan pendarahan yang berlebihan dan sulit dalam
penyembuhan luka. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003
Patogenesis penyakit hemofilia
Proses kejadian dimulai dari
terjadinya cedera pada permukaan jaringan, kemudian dilanjutkan pada
permukaan fosfolipid trombosit yang mengalami agregasi. Ada proses utama
homeostatis pada pembekuan darah
- Fase kontriksi sementara (respon langsung terjadi cedera)
- Reaksi trombosit yang terdiri dari adhesi, seperti factor III dari membrane trombosit juga mempercepat reaksi.
- Pengaktifan factor-faktor pembekuan, seperti factor III dari membrane trombosit, juga mempercepat pembekuan darah dengan cara ini, terbentuklah sumbatan trombosit yang kemudian diperkuat oleh protein filamentosa yang dikenal dengan fibrin.(Sylvia A.Price & Lioraine M. Wilson,2003)
Produksi fibrin dimulai dengan
perubahan faktor X menjadi Xa (belum aktif). Rangkaian reaksi pertama
memerlukan faktor jaringan (tromboplastin) yang dilepas endotel pembuluh
saat cedera. Faktor jaringan ini tidak terdapat dalam darah, sehingga
disebut faktor ekstrinsik. Sedangkan faktor VIII dan IX terdapat dalam
darah, sehingga disebut jalur intrinsik. (Sylvia A.Price &Lloraine
M.Wilson,2003)
Dalam proses ini, pengaktifan
salah satu prokoagulan akan mengakibatkan pengaktifan bentuk penerusnya.
Jalur intrinsik diawali dengan keluarnya plasma atau kolagen melalui
pembuluh yang rusak dan mengenai kulit. Faktor-faktor koagulasi XII, XI,
dan IX harus diaktifkan berurutan. Faktor VIII harus dilibatkan sebelum
faktor X diaktifkan. Namun pada penderita hemofilia faktor VIII
mengalami defisiensi, akibatnya proses pembekuan darah membutuhkan waktu
yang lama untuk melanjutkan ke tahap berikutnya.Kondisi seperti inilah
yang menghambat pengaktifan jalur intrinsik. Secara tidak langsung juga
menghambat jalur bersama, karena faktor X tidak bisa
diaktifkan.Pembentukan fibrin, walaupun dibantu oleh fosfolipid,
trombosit tidak berarti tanpa faktor Xa. Untaian fibrin tidak terbentuk
maka dinding pembuluh yang cedera menutup. Dan perdarahan pun sulit
dihentikan, hal ini dapat diuji dengan tingginya (lamanya) PTT (partial
tromboplastin time). (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson., 2003)
Manisfestasi klinik
Hemofilia A atau hemofilia klasik
berkarakteristik perdarahan berlebihan sebagian besar bagian tubuh.
Hematoma dan Hemarthroses dapat terjadi pada penyakit ini. Gejala klinis
dapat berupa perdarahan spontan yang berulang dalam sendi, otot, maupun
anggota tubuh yang lain. Hal ini dapat berakibat kecacatan pada sendi
dan otot, bahkan perdarahan berlanjut dapat menyebabkan kematian pada
usia dini. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003)
Di sisi lain jika luka sobek di
permukaan kulit, darah akan terlihat mengalir keluar perlahan kemudian
pasti menjadi kumpulan darah yang lembek. Tetapi bila lukanya di bawah
kulit, akan terjadi memar atau lebam kebiruan kendati luka itu berasal
dari benturan. Beda lagi jika perdarahan terjadi di persendian dan otot.
Jaringan di sekitarnya bisa rusak. Itulah sebabnya mengapa hemofilia
bisa menyebabkan kelumpuhan. (Sylvia A.Price &Lloraine
M.Wilson,2003)
Hemofilia A dapat diklasifikasi
menjadi tiga, yaitu : ringan, sedang, dan berat. Berikut ini akan
menjelaskan manifestasi klinis berdasarkan klasifikasi hemofilia:
a) Hemofilia berat tingkat faktor VIII : ≤ 1% dari normal (≤ 0,01 U/ml)
Manifestasi klinis :
- Perdarahan spontan sejak awal masa pertumbuhan (masa infant).
- Lamanya perdarahan spontan dan perdarahan lainnya membutuhkan faktor pembekuan pengganti.
- Frekuensi perdarahan sering dan terjadi secara tiba-tiba.
b)Hemofilia sedang tingkat faktor VIII : 1-5 % dari normal (0,01-0,05 U/ml)
Manifestasi klinis :
- Perdarahan karena trauma atau pembedahan.
- Frekuensi perdarahan terjadi kadang-kadang.hemofilia.
c)Hemofilia ringan tingkat faktor VIII : 6-30 % dari normal (0,06-0,30 U/ml)
Manifestasi klinis :
- Perdarahan karena trauma atau pembedahan.
- Frekuensi perdarahan jarang.
- ØGejala penyakit Hemofilia
- Apabila terjadi benturan pada tubuh akan mengakibatkan kebiru-biruan (pendarahan dibawah kulit).
- Apabila terjadi pendarahan di kulit luar maka pendarahan tidak dapat berhenti.
- Pendarahan dalam kulit sering terjadi pada persendian
seperti siku tangan maupun lutut kaki sehingga mengakibatkan rasa nyeri
yang hebat.
Sendi dan otot yang mengalami pendarahan terlihat bengkak dan nyeri bila disentuh.(andra. 2007)
Dampak Psikologis Penderita
Timbulnya suatu penyakit yang
kronis – seperti pada hemofilia – dalam suatu keluarga memberikan
tekanan pada system keluarga tersebut dan menuntut adanya penyesuaian
antara si penderita sakit dan anggota keluarga yang lain. Penderita
sakit ini sering kali harus mengalami hilangnya otonomi diri,
peningkatan kerentanan terhadap sakit, beban karena harus berobat dalam
jangka waktu lama. Sedangkan anggota keluarga yang lain juga harus
mengalami “hilangnya” orang yang mereka kenal sebelum menderita sakit
(berbeda dengan kondisi sekarang setelah orang tersebut sakit), dan kini
(biasanya) mereka mempunyai tanggungjawab pengasuhan terhadap anggota
keluarga yang mengalami penyakit hemofilia. ( Dr. Ika Widyawati SpKJ,
2007)
Kondisi penyakit yang kronis ini
menimbulkan depresi pada anggota keluarga yang lain dan mungkin
menyebabkan penarikan diri atau konflik antar mereka.
Kondisi ini juga menuntut adaptasi yang luar biasa dari keluarga.Hemofilia tidak hanya merupakan masalah medis atau biologis semata, namun juga mempunyai dampak psikososial yang dalam.Pengaruh orang dengan hemofilia sebaiknya tidak hanya memperhatikan masalah fisiologi-nya saja – misal mengontrol perdarahannya dan mencegah timbulnya disabilitas fisik – tetapi juga diharapkan mempunyai perhatian pada berbagai gangguan alam perasaannya, rasa tidak amannya, rasa terisolasi dan masalah keluarga terdekatnya (orangtua, istri, anak dan saudara kandung).( Dr. Ika Widyawati SpKJ, 2007)
Kondisi ini juga menuntut adaptasi yang luar biasa dari keluarga.Hemofilia tidak hanya merupakan masalah medis atau biologis semata, namun juga mempunyai dampak psikososial yang dalam.Pengaruh orang dengan hemofilia sebaiknya tidak hanya memperhatikan masalah fisiologi-nya saja – misal mengontrol perdarahannya dan mencegah timbulnya disabilitas fisik – tetapi juga diharapkan mempunyai perhatian pada berbagai gangguan alam perasaannya, rasa tidak amannya, rasa terisolasi dan masalah keluarga terdekatnya (orangtua, istri, anak dan saudara kandung).( Dr. Ika Widyawati SpKJ, 2007)
B. Penyakit Von Willebrand
Penyakit von willebrand adalah
suatu penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan atau kelainan pada
vaktor von willebrand di dalam darah yang sifatnya diturunkan. Faktor
von willebrand adalah suatu protein yang mempengaruhi fungsi trombosit.
Faktor von Willebrand ditemukan di dalam plasma,
trombosit dan dinding pembuluh darah. Jika faktor ini hilang atau
jumlahnya kurang, maka tidak akan terjadi penyumbatan pembuluh darah
yang terluka (proses melekatnya trombosit ke dinding pembuluh yang
mengalami cedera). Sebagai akibatnya, perdarahan tidak akan segera
terhenti sebagaimana mestinya, meskipun pada akhirnya biasanya akan
berhenti
Biasanya penderita memiliki orang tua dengan riwayat gangguan perdarahan.
Anak mudah mengalami memar atau mengalami perdarahan yang berlebihan setelah kulitnya tergores, pencabutan gigi, pengangkatan amandel maupun pembedahan lainnya.
Anak mudah mengalami memar atau mengalami perdarahan yang berlebihan setelah kulitnya tergores, pencabutan gigi, pengangkatan amandel maupun pembedahan lainnya.
Pada wanita, darah menstruasinya
sangat banyak. Di lain fihak, perubahan hormonal, stres, kehamilan
peradangan dan infeksi bisa merangsang tubuh untuk meningkatkan
pembentukan faktor von Willebrand dan untuk sementara waktu bisa
memperbaiki pembentukan bekuan.
Gen yang membuat VWF bekerja pada dua jenis sel yaitu :
– Sel endotel yaitu yang melapisi pembuluh darah, dan
– Sel endotel yaitu yang melapisi pembuluh darah, dan
- Trombosit
Jika tidak terdapat cukup VWF
dalam darah, atau tidak bekerja dengan baik, maka dalam proses pembekuan
darah memerlukan waktu lebih lama. Penyakit ini tidak sama dengan
hemofilia dan sering dialami oleh wanita. (Sylvia A.Price &Lloraine
M.Wilson.2003)
- Ø Patogenesis
Dalam tubuh darah diangkut dalam
pembuluh darah. Jika ada cedara jaringan, terjadi kerusakan pembuluh
darah dan akan menyebabkan kebocoran darah melalui lubang pada dinding
pembuluh darah. Pembuluh dapat rusak dekat permukaan seperti saat
terpotong. Atau ia dapat rusak di bagian dalam tubuh sehingga terjadi
memar atau perdarahan dalam. (Sylvia A.Price &Lloraine
M.Wilson,2003)
Jika pembuluh darah terluka, ada empat tahap untuk membentuk bekuan darah yang normal adalah sebagai berikut:
- pembuluh darah terluka dan mulai mengalami perdarahan.
- Pembuluh darah menyempit untuk memperlambat aliran darah ke daerah
yang luka.
- Trombosit melekat dan menyebar pada dinding pembuluh darah yang rusak. Ini disebut adesi trombosit. Trombosit yang menyebar melepaskan zat yang mengaktifkan trombosit lain didekatnya sehingga akan menggumpal membentuk sumbat trombosit pada tempat yang terluka. Ini disebut agregasi trombosit.
- Permukaan trombosit yang teraktivasi menjadi permukaan
tempat terjadinya bekuan darah. Protein pembekuan darah yang beredar
dalam darah diaktifkan pada permukaan trombosit membentuk jaringan
bekuan fibrin.
VWD dapat terjadi pada dua tahap terakhir pada proses pembekuan darah. Pada tahap ke 3, seseorang dapat berkemungkinan tidak memiliki cukup Faktor Von Willebrand (VWF) di dalam darahnya atau faktor tersebut tidak berfungsi secara normal. Akibatnya VWF tidak dapat bertindak sebagai perekat untuk menyangga trombosit di sekitar daerah pembuluh darah yang mengalami kerusakan. Trombosit tidak dapat melapisi dinding pembuluh darah. (Gugun,2007)
Pada tahap ke 4, VWF membawa
Faktor VIII. Faktor VIII adalah salah satu protein yang dibutuhkan untuk
membentuk jaringan yang kuat. Tanpa adanya faktor VIII dalam dalam
jumlah yang normal maka proses pembekuan darah akan memakan waktu yang
lebih lama. (Gugun,2007)
-patogenesis
Apabila konsentrasi trombosit
tinggi, terjadi agregasi spontan pada trombosit, menyumbat
kapiler-kapiler darah yang lembut. Pada proses ini, dinding kapiler akan
rusak yang dapat menimbulkan . pemeriksaan masa pendarahan dan fungsi
trombosit lain pada umumnya dalam batas normal. (Sylvia A.Price
&Lloraine M.Wilson,2003.)
- Ø Manisfestasi klinis
Penderita penyakit ini akan mudah
mengalami pendarahan karena faktor perekatnya dalam proses pembekuan
darah berkurang atau proses penutupan luka berlangsung lama dikarenakan
proses pembekuan darahnya memerlukan waktu yang lebih lama dibanding
orang normal. (Gugun,2007)
Meningkatnya jumlah trombosit di
dalam plasma darah, dapat menyebabkan pendarahan di mukosa, khususnya di
dalam mukosa saluran cerna., pendarahan juga terjadi di pembuluh darah
vena dan arteri. Fungsi abnormal dari trombosit dapat menyebabkan
pendarahan yang panjang. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003)
Aspirin dan obat artritis lainnya bisa memperburuk perdarahan karena obat tersebut mempengaruhi fungsi trombosit.
Untuk mengurangi nyeri, kepada penderita penyakit von Willebrand bisa diberikan asetaminofen karena obat ini tidak mengganggu fungsi trombosit.
Pemeriksaan laboratorium bisa menunjukkan bahwa jumlah trombosit normal tetapi waktu perdarahan menjadi lama. Bisa dilakukan pemeriksaan untuk mengukur jumlah faktor von Willebrand di dalam darah. Faktor von Willebrand adalah protein yang membawa faktor VII, karena itu kadar faktor VII juga bisa menurun.Jika terjadi perdarahan hebat, diberikan transfusi faktor pembekuan darah yang mengandung faktor von Willebrand.
Pemeriksaan laboratorium bisa menunjukkan bahwa jumlah trombosit normal tetapi waktu perdarahan menjadi lama. Bisa dilakukan pemeriksaan untuk mengukur jumlah faktor von Willebrand di dalam darah. Faktor von Willebrand adalah protein yang membawa faktor VII, karena itu kadar faktor VII juga bisa menurun.Jika terjadi perdarahan hebat, diberikan transfusi faktor pembekuan darah yang mengandung faktor von Willebrand.
Pada penyakit yang ringan,
diberikan desmopressin untuk meningkatkan jumlah faktor von Willebrand,
sehingga penderita bisa menjalani pembedahan atau prosedur gigi tanpa
transfusi.
Penyebabnya bisa keturunan (contohnya penyakit von Willebrand) atau didapat (misalnya akibat obat-obat tertentu).
Kelainan platelet herediter
Penyakit | Angka kejadian | Keterangan | Beratnya perdarahan |
Penyakit von Willebrand | Relatif sering | Kekurangan atau tidak ada faktor von Willebrand (protein yg mengikat trombosit pada dinding pembuluh darah yg robek) atau kekurangan faktor VII | Ringan sampai sedang; bisa berat pada penderita yg memiliki faktor von Willebrand sangat sedikit |
Penyakt storage pool | Relatif jarang | Kekuarangan granul trombosit yg menyebabkan gangguan pada pembentukan gumpalan trombosit | Ringan |
Sindroma Ch?diak-Higashi & Hermansky-Pudlak | Jarang | Merupakan bentuk penyakit storage poll yg khusus | Bervariasi |
Disfungsi tromboksan A2 | Sangat jarang | Gangguan respon trombosit terhadap rangsangan untuk membentuk gumpalan | Ringan |
Trombastenia | Jarang | Hilangnya protein di permukaan trombosit yg diperlukan untuk pembentukan gumpalan trombosit | Bervariasi |
Sindroma Bernard-Soulier | Jarang | Hilangnya protein di permukaan trombosit & trombosit yg berukuran besar yg tidak menempel pada dinding pembuluh darah | Bervariasi |
B. D.I.C( Disseminated Intravascular Coagulation ) atau pembekuan intravaskuler tersebar.
Pembekuan intravaskuler tersebar
(DIC) adalah sindrom multifaset, sindrom kompleks dimana homeostatik
normal dan sistem fisiologik yang mempertahankan darah agar tetap cair
berubah menjadi sistem yang patologik, sehingga terjadi trombi fibrin
yang menyumbat miovaskuler dari tubuh. Keadaan ini sering timbul akibat
banyaknya jaringan yang cedera atau mati yang melepaskan faktor jaringan
dalam jumlah besar kedalam darah, seringkali bekuan ini ukurannya
kecil-kecil tapi banyak dan bekuan ini menyumbat sejumlah besar darah
perifer yang kecil, terutama terjadi pada syok septikemik. (Sylvia
A.Price &Lloraine M.Wilson.,2003)
Faktor penyebab antara lain:
1. Mikroorganisme : bakteri dan
jamur.Misalnya : pada syok septikemik.Bakteri mengiritasi lapisan
pembukuh darah (terutama endotoksin) sehingga mengaktifkan mekanisme
pembekuan darah.
2. Luka Bakar
Luka bakar yang terlalu parah dapat menyebabkan banyak sekali sumbatan pembuluh darah.
3. Leukimia Promielositik
4. Produk – produk tumor
5. Cedera remuk
6. Solusio plasenta (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003)
Patogenesis
Diawali dengan masuknya materi
atau aktivasi proakoagulasi ke dalam sirkulasi darah. Ini dapat
ditemukan pada setiap keadaan dimana tromboplastin jaringan dibebaskan
karena terjadi perusakan jaringan yang mengalami pembekuan-pembekuan
ekstrinsil. Karena plasenta banyak mengandung tromboplastin jaringan,
maka salah satu penyebab DIC yang paling sering adalah solusio plasenta
(pelepasan plasenta yang prematur) sehingga menyebabkan tertahannya
hasil – hasil konsepsi ( plesenta fetus ) yang menyebabkan nekrosis dan
kerusakan jaringan lebih lanjut.Produk – produk tumor, luka bakar,
cedera remuk dan leukemia promielositik semuanya menyebabkan pelepasan
tromboplastin. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson., Patofisioogi
klinik proses-proses penyakit vol.1.)
Awal jaras intrinsik juga terjadi
bila proakogulan intrinsik kontak dengan endotel pembuluh yang rusak
seperti pada vaskulitis, septic dan syok. Selama proses pembekuan,
trombosit akan beragregasi dan bersama-sama dengan faktor-faktor
pembekuan, sehingga jumlah trombosit berkurang. Hasil trombi fibrin
dapat menyebabkan sumbatan pada mikrovaskular jika jumlahnya banyak,
jika jumlahnya sedikit maka tidak akn menyebabkan sumbatan di
mikrovaskular. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003)
- Ø Manisfestasi Klinis
Manisfestasi klinis yang terjadi
pada DIC tergantung dari luas dan lamanya pembentukan trombofibrin
organ-organj yang terlibat ( ginjal, jantung, hipofise, paru-paru, dan
mukosa saluran cerna), nekrosis dan pendarahan yang ditimbulkan.
Dampaknya adalah, penderita akan mengalami perdarahan pada membran mukosa dan jaringan – jaringan bagian dalam, pendarahan disekitar bagian yang cedera, hipotensi ( syok ), oliguri atau anuria, kejang dan koma, mual dan muntah, diare, nyeri abdomen, nyeri punggung, dispnea dan sianosis. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003).
Dampaknya adalah, penderita akan mengalami perdarahan pada membran mukosa dan jaringan – jaringan bagian dalam, pendarahan disekitar bagian yang cedera, hipotensi ( syok ), oliguri atau anuria, kejang dan koma, mual dan muntah, diare, nyeri abdomen, nyeri punggung, dispnea dan sianosis. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003).
C. KELAINAN VASKULER
Berbagai kelainan dapat terjadi
pada tiap tingkat mekanisme hemostatik. Pasien dengan kelainan pada
system vascular biasanya datang dengan perdarahan kulit, dan sering
mengenai membrane mukosa. Perdarahan dapat diklasifikasikan menjadi
purpura alergik dan purpura nonalerik. Pada kedua keadaan ini, fungsi
trombosit dan factor koagulasi adalah normal.Terdapat banyak bentuk
purpura nonalergik, yaitu pada penyakit-penyakit ini tidak terdapat
alergi sejati tetapi terjadi berbagai bentuk vaskulitis. Yang paling
sering ditemukan adalah lupus eritematosus sistemik. Kelainan ini
merupakan penyakit vascular-kolagen, yaitu pasien membentuk
autoantibody. Vaskulitis, atau peradangan pembuluh darah terjadi dan
merusak integritas pembuluh darah, mengakibatkan purpura. (Sylvia
A.Price &Lloraine M.Wilson., Patofisioogi klinik proses-proses
penyakit vol.1.)
Jaringan penyokong pembuluh darah
yang mengalami perburukan, dan tidak efektif, yang terjadi seiring
proses penuaan, mengakibatkan purpura senilis. Umumnya terlihat
perdarahan kulit pada dorsum manus dan lengan bawah serta diperburuk
oleh trauma. Kecuali mengganggu secara kosmetik, keadaan ini tidak
membahayakan jiwa. Manifestasi kulit yang serupa juga terlihat pada
terapi kortikosteroid jangka lama, yang diyakini diakibatkan dari
katabolisme protein di dalam jaringan penyokong pembuluh darah. Skorbut,
yang berkaitan dengan malnutrisi, dan alkoholisme, sama-sama
mempengaruhi integritas jaringan ikat dinding pembuluh darah.Bentuk
purpura vascular yang dominant autosomal, telangiektasia hemoragik
herediter (penyakit Osler-Weber-Rendu), terdapat pada epistaksis dan
perdarahan saluran cerna yang intermiten dan hebat. Telangiektasia difus
umumnya terjadi pada masa dewasa, ditemukan pada mukosa bukal, lidah,
hidung dan bibir dan tampaknya meluas ke seluruh saluran cerna.
Pengobatan terutama suportif. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson.,
Patofisioogi klinik proses-proses penyakit vol.1.)
Sindrom Ehlers-Danlos, suatu
penyakit herediter lain, meliputi penurunan daya pengembangan
(compliance) jaringan perivascular yang menyebabkan perdarahan berat.
Purpura alergik atau purpura anafilaktoid diduga diakibatkan oleh
kerusakan imunologik pada pembuluh darah, ditandai dengan perdarahan
petekie pada bagian tubuh yang tergantung dan juga mengenai bokong.
Purpura Henoch-schÖnlein, suatu trias purpura dan perdarahan mukosa,
gejala-gejala salurancerna, dan arthritis, merupakan bentuk purpura
alergik yang terutama mengenai anak-anak. Mekanisme penyakit ini tidak
diketahui dengan baik. Gejala-gejalanya sering didahului oleh keadaan
infeksi. Pasien-pasien mengalami peradangan pada cabang-cabang pembuluh
darah, kapiler dan vena, mengakibatkan pecahnya pembuluh, hilangnya
sel-sel darah merah, dan perdarahan. Glomerulonefritis merupakan
komplikasi yang sering terjadi. Pengobatan bersifat suportif dengan
menghindari aspirin serta senyawa-senyawanya. (Sylvia A.Price
&Lloraine M.Wilson,2003)Top of Form
PURPURA TROMBOSITOPENIK IDIOPATIK (ITP)
Purpura Trombositopenik Idiopatik
adalah suatu penyakit dimana terjadi perdarahan abnormal akibat
rendahnya jumlah trombosit tanpa penyebab yang pasti.
Penyebab dari kekurangan trombosit tidak diketahui (idiopatik). Penyakit ini diduga melibatkan reaksi autoimun, dimana tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang trombositnya sendiri.
Penyebab dari kekurangan trombosit tidak diketahui (idiopatik). Penyakit ini diduga melibatkan reaksi autoimun, dimana tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang trombositnya sendiri.
Meskipun pembentukan trombosit di
sumsum tulang meningkat, persediaan trombosit yang ada tetap tidak
dapat memenuhi kebutuhan tubuh.
Pada anak-anak, penyakit ini biasanya terjadi setelah suatu infeksi virus dan setelah bebeerapa minggu atau beberapa bulan akan menghilang tanpa pengobatan.
Gejalanya bisa timbul secara tiba-tiba (akut) atau muncul secara perlahan (kronik).
Gejalanya berupa:
Pada anak-anak, penyakit ini biasanya terjadi setelah suatu infeksi virus dan setelah bebeerapa minggu atau beberapa bulan akan menghilang tanpa pengobatan.
Gejalanya bisa timbul secara tiba-tiba (akut) atau muncul secara perlahan (kronik).
Gejalanya berupa:
- bintik-bintik merah di kulit sebesar ujung jarum
- memar tanpa penyebab yang pasti
- perdarahan gusi dan hidung
- darah di dalam tinja.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan
gejala serta hasil pemeriksaan darah dan sumsum tulang yang menunjukkan
rendahnya jumlah trombosit dan adanya peningkatan penghancuran
trombosit.
Pada penderita dewasa, diberikan
kortikosteroid (misalnya prednison) dosis tinggi untuk mencoba menekan
respon kekebalan tubuh. Pemberian kortikosteroid hampir selalu bisa
meningkatkan jumlah trombosit, tetapi efeknya hanya sekejap.
Obat-obat yang menekan sistem kekebalan (misalnya azatioprin) juga kadang diberikan.
Jika pemberian obat tidak efektif atau jika penyakitnya berulang, maka dilakukan pengangkatan limpa (splenektomi).
Obat-obat yang menekan sistem kekebalan (misalnya azatioprin) juga kadang diberikan.
Jika pemberian obat tidak efektif atau jika penyakitnya berulang, maka dilakukan pengangkatan limpa (splenektomi).
Imun globulin atau faktor anti-Rh
(bagi penderita yang memiliki darah Rh-positif) dosis tinggi diberikan
secara intravena kepada penderita yang mengalami perdarahan hebat akut.
Obat ini juga digunkan untuk
periode yang lebih lama (terutama pada anak-anak), guna mempertahankan
jumlah trombosit yang memadai untuk mencegah perdarahan.
TROMBOSITOPENIA AKIBAT PENYAKIT
Infeksi HIV (virus penyebab AIDS) seringkali menyebabkan trombositopenia. Penyebabnya tampaknya adalah antibodi yang menghancurkan trombosit.
Pengobatannya sama dengan ITP. Zidovudin (AZT) yang diberikan untuk memperlambat penggandaan virus AIDS, seringkali menyebabkan meningkatnya jumlah trombosit.
Pengobatannya sama dengan ITP. Zidovudin (AZT) yang diberikan untuk memperlambat penggandaan virus AIDS, seringkali menyebabkan meningkatnya jumlah trombosit.
Lupus eritematosus sistemik menyebabkan berkurangnya jumlah trombosit dengan cara membentuk antibodi.
Disseminated intravascular coagulation (DIC)
menyebabkan terbentuknya bekuan-bekuan kecil di seluruh tubuh, yang
dengan segera menyebabkan berkurangnya jumlah trombosit dan faktor
pembekuan.
PURPURA TROMBOSITOPENIK TROMBOTIK
Purpura Trombositopenik Trombotik
adalah suatu penyakit yang berakibat fatal dan jarang terjadi, dimana
secara tiba-tiba terbentuk bekuan-bekuan darah kecil di seluruh tubuh,
yang menyebabkan penurunan tajam jumlah trombosit dan sel-sel darah
merah, demam dan kerusakan berbagai organ.
Penyebab penyakit ini tidak
diketahui. Bekuan darah bisa memutuskan aliran darah ke bagian otak,
sehingga terjadi gejala-gejala neurologis yang aneh dan hilang-timbul.
Gejala lainnya adalah:
- sakit kuning (jaundice)
- adanya darah dan protein dalam air kemih
- kerusakan ginjal
- nyeri perut
- irama jantung yang abnormal.
Jika tidak diobati, penyakit ini
hampir selalu berakibat fatal; dengan pengobatan, lebih dari separuh
penderita yang bertahan hidup.
Plasmaferesis berulang atau transfusi sejumlah besar plasma
(komponen cair dari darah yang tersisa setelah semua sel-sel darah
dibuang) bisa menghentikan penghancuran trombosit dan sel darah merah.
Bisa diberikan kortikosteroid dan
obat yang menghalangi fungsi trombosit (misalnya aspirin dan
dipiridamol), tetapi efektivitasnya belum pasti.
DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan darah yang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan darah yang
menunjukkan jumlah trombosit dibawah normal.
Pemeriksaan darah dengan
mikroskop atau pengukuran jumlah dan volume trombosit dengan alat
penghitung elektronik bisa menentukan beratnya penyakit dan penyebabnya.
Aspirasi sumsum tulang yang kemudian diperiksa dengan mikroskop, bisa memberikan informasi mengenai pembuatan trombosit.
PENGOBATAN
Jika penyebabnya adalah obat-obatan, maka menghentikan pemakaian obat tersebut biasanya bisa memperbaiki keadaan.
Jika penyebabnya adalah obat-obatan, maka menghentikan pemakaian obat tersebut biasanya bisa memperbaiki keadaan.
Jika jumlah trombositnya sangat sedikit penderita seringkali dianjutkan untuk menjalani tirah baring guna menghindari cedera.
Jika terjadi perdarahan yang berat, bisa dibehttp://ebookfkunsyiah.wordpress.com/2008/09/12/trombosit-turun-tak-selalu-demam-berdarah/”>Trombosit Turun Tak Selalu Demam Berdarah
Selain demam berdarah, ada
beberapa penyakit lain yang ditandai olehpenurunan kadar trombosit. Apa
sajakah itu? Pada mulanya, Desi (empat tahun) memang menderita demam.
Ketika diperiksa lebih jauh, kadar trombositnya ternyata turun sampai 30
ribu/mm3. Dokter pun mendiagnosis Desi mengidap demam berdarah. Setelah
delapan hari, suhu tubuh yang tadinya mencapai 39 derajat Celsius
berangsur turun. Heni (30 tahun), sang ibu, tentu saja lega.Tapi ia
mendeteksi keanehan. Pasalnya, pemeriksaan ulang menunjukkan, trombosit
Desi anjlok, hingga tinggal 9.000/mm3. ”Saya sampai kaget, karena tidak
demam lagi, saya pikir dia sudah sembuh dari demam berdarah (DB),” kata
Heni. Ternyata rendahnya kadar trombosit dalam darah Desi memang bukan
karena DB. Tapi karena tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang
trombosit. ”Ternyata anak saya menderita ITP (Immunologic
Thrombocytopenia Purpura), bukan DB. Syukur Alhamdulillah, setelah
diberi obat oleh dokter, si kecil kini sudah sehat, ‘jelas Heni lega.
Penurunan trombosit hingga di bawah batas normal memang kerap
diidentikkandengan demam berdarah, khususnya di kalangan awam. Padahal
tidak selamanya demikian. Dalam keadaan normal, trombosit dalam darah
mencapai 150 ribu-450 ribu/mm3. Dalam keadaan tidak normal, trombosit
yang berperan dalampembekuan darah ini bisa turun. Keadaan ini disebut
dengan trombositopenia,yakni trombosit berada dalam keadaan rendah.
Demam berdarah hanyalah salah satu penyakit yang ditandai oleh turunnya
kadar trombosit.
Menurut Prof dr Zubairi Djoerban
SpPD KHOM, ahli hematologi dari FakultasKedokteran Universitas Indonesia
(FKUI)/RS Cipto Mangunkusumo (RSCM),trombosit rendah bisa disebabkan
oleh bermacam hal. Tapi secara garis besar,penurunan kadar trombosit
disebabkan oleh dua hal yaitu kerusakan trombosit di peredaran darah,
atau kurangnya produksi trombosit di sumsum tulang.Kerusakan trombosit
Demam berdarah merupakan jenis kerusakan trombosit yang populer di
masyarakat. Menurut kepala divisi Hematologi-Onkologi Medik Bagian
Penyakit Dalam FKUI/RSCM ini, penyebab kerusakan trombosit dalam DB
adalah infeksi.Selain demam berdarah, infeksi yang juga mengurangi
trombosit adalah tifus.Kerusakan trombosit juga bisa terjadi pada
penyakit ITP. Ini merupakanpenyakit auto-imun di mana zat anti yang
dibentuk tubuh malah menyerang trombosit.”Melalui mekanisme imunologi
tadi, trombosit menjadi berkurang,” jelasZubairi. Pada ITP, gejalanya
bisa berupa bercak-bercak perdarahan di kulit.Sementara pada DB,
penderita mengalami demam dan penurunan trombosit tapi berangsur normal
dalam delapan hari. ”Jika (trombosit rendah) lebih dari delapan hari,
kita harus pikirkan kemungkinan yang lain. Salah satunya adalah ITP,”
jelas hematolog yang juga dikenal sebagai salah satu dari sedikit pakar
AIDS di Indonesia ini. ITP seringkali menyerang wanita usia reproduksi,
yakni di bawah 35 tahun. Tapi bukan berarti, ITP tak bisa menyerang
kelompok usia lanjut. Hanya saja, kasus ITP pada kelompok usia lanjut,
terbilang jarang. ”Seperti penyakit lupus, ITP lebih sering ditemui pada
wanita, laki-laki hanya sekitar dua persen,” kata Zubairi. Penurunan
kadar trombosit juga bisa ditemui dalam kasus DIC (Disseminated
Intravascular Coagulation). Biasanya, ini terjadi pada pasien dengan
penyakit berat. ”Seperti pasien dengan sirosis hati, shock, infeksi
kuman apapun dalam darah yang berat sekali, serta penyakit lupus,”
lanjutnya. Trombosit yang rendah bisa juga dikarenakan produksi yang
kurang.Penyakitnya bisa berupa anemia aplastik. Anemia aplastik terjadi
jika sel yang memproduksi butir darah merah yang terletak di sumsum
tulang, tidak dapat menjalankan tugasnya. ”Pada anemia aplastik,
trombosit yang rendah juga disertai leukosit yang rendah sehingga sumsum
tulangnya kosong,” jelas Zubairi. Selain anemia aplastik, trombosit
yang rendah juga kerap ditemui pada penderita penyakit leukemia. Sering
juga ditemui pada penderita penyakit mielofibrosis. Menurut Zubairi,
pada penyakit ini keadaan limfa dan liver membesar. Sebenarnya, sewaktu
kita lahir, trombosit diproduksi oleh limfa dan liver.Seiring
pertambahan usia, fungsi ini kemudian dijalankan oleh sumsum tulang.
Karena muncul penyakit mielofibrosis, sumsum tulang tidak berfungsi
sehingga limfa dan liver kembali bekerja dan membesar. Untuk mengetahui
penyakit mana yang diderita, perlu dilakukan tes. ”Tidak bisa karena
trombosit rendah langsung dikatakan ITP,” ujar Zubairi. Menurutnya,
dalam prinsip kedokteran semakin sedikit data maka akan semakin banyak
kemungkinan. Pengobatan Pengobatan setiap penyakit berbeda. Pada
penderita ITP, karena ada zat yang menyerang trombosit, tidak dilakukan
transfusi trombosit. Pada ITP, transfusi trombosit justru akan
merangsang zat anti untuk berproduksi. Jadi, pengobatan utamanya adalah
dengan menghilangkan mekanisme auto-imun tadi. ‘ Produksi antibodi
ditekan dengan obat yang bersifat kortikosteroid seperti prednison,”
tambah kepala Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia
(PHTDI) ini. Jika tidak mempan dengan prednison, biasanya dilakukan
operasi kecil untuk membuang limfa. Angka kematian akibat trombosit
rendah cenderung kecil. Seperti demam berdarah, angka kematian pada
orang dewasa di bawah 10 persen, dan sedikit lebih besar pada bayi dan
anak-anak. ”Kecuali pada anemia aplastik yang berat dan leukemia”. ITP
sendiri jarang menyebabkan kematian. ”Kecuali pada saat trombosit
rendah, pasien terpeleset dan jatuh sehingga terjadi perdarahan di
otak,” Zubairi memberikan contoh. Sampai batas berapa seseorang bisa
bertahan dengan trombosit rendah? ”Tergantung,” jawabnya. Pada leukemia
dan anemia aplastik, pasien dengan trombosit 20 ribu/mm3 sudah
berdarah-darah. Sedangkan pada DB, hanya berupa bintik-bintik. ”Pada
penderita ITP, meski trombositnya mencapai 15 ribu hingga 10 ribu, tidak
ada perdarahan sama sekali, apalagi jika diberikan pengobatan”.
Sedangkan penderita DIC bisa berdarah pada tempat infus hingga gusi.
Menurut Zubairi, selain melihat jumlah trombosit, dokter juga akan
melihat fungsinya, yakni masa perdarahan (bleeding time) yang normalnya
mencapai 1-4 menit.Dari sisi jumlah, ada beberapa titik penting yakni 0,
20 ribu, 40 ribu, 100 ribu, dan 150 ribu. Untuk penderita DB misalnya,
jika trombositnya sudah di bawah 100 ribu/mm3 sebaiknya diopname.
Biasanya diberikan infus. Perlukahc transfusi trombosit? Tidak perlu
karena trombosit akan naik sendiri, kecuali jika trombosit sudah di
bawah 20 ribu/mm3 dan terjadi perdarahan. Pemberian transfusi juga
dilakukan dengan melihat masa perdarahan. ”Jika sudah lebih dari 10
menit, misalnya, berikan transfusi trombosit”. Sedangkan pada anemia
aplastik dan leukemia, karena seringkali menyebabkan perdarahan, maka
transfusi trombosit harus sering diberikan. Tapi ingat, transfusi
trombosit sebaiknya diambil dari donor tunggal.
PURPURA TROMBOSITOPENI IDIOPATIK
- Batasan
Purpura trombositopeni idiopatik
(PTI) atau purpura trombositopeni autoimun adalah sindrom yang ditandai
dengan trombositopenia akibat dekstruksi trombosit yang meningkat sebab
proses imunologik (RS dr. Soetomo,2008).
- Etiologi
Etiologi Purpura Trombositopeni
Idiopatik (PTI) adalah adanya autoantibodi terhadap trombosit.
Autoantibodi ini adalah platelet associated immunoglobulin G (PAIgG)
yang disintesis di limpa. PTI dapat merupakan menifestasi awal suatu
penyakit misalnya SLE, leukemia, dan limfoma (RS dr. Soetomo,2008).
Riwayat penyakit purpura trombositopeni idiopatik atau autoimun ini
terbagi dalam 2 bentuk yaitu akut dan kronis (Supandiman,1997).
3. Gejala klinis
Gejala utama adalah petekie dan
perdarahan selaput lendir berupa epiktasis atau perdarahan di tempat
lain. Bentuk Akut gejala perdarahan selaput lendir disertai petekie
berjalan singkat. Bentuk kronis gejalanya berupa petekie diekstremitas
bawah, jarang ditemukan perdarahan selaput lendir, pada wanita
menorhagia satu-satunya gejala penyakit ini. Hendaknya disingkirkan
trombositopenia sekunder/akibat obat (aspirin, barbiturat, kina,
laksansia), infeksi, anemia aplastik (Supandiman,1997).
4. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan
menyingkirkan faktor-faktor sekunder yang dapat mengakibatkan
trombositopenia kriteria Difino (1998), yaitu :
- Perdarahan/ purpura/ purpura lebih pada satu lokasi.
- Tidak ada perbesaran limpa.
- Trombositopenia kurang dari 150.000/uL.
- Aspirasi sutul : jumlah megakariosit normal atau meningkat, eritropoesis,dan mielopoesis normal.
- Antiplatelet antibodi dapat positif.
- Tidak ada penyakit lain penyebat trombositopeni, misalnya obat-obat, sepsis, koagulasi intravaskuler doseminata, SLE, leukemia, trombositopeni pasca transfusi.
Pada 75 % penderita terdapat
peningkatan titer palsu yang terjadi karena antibodi nonspesifik
misalnya pada sepsis, SLE rematoid, anemia hemolitik autoimun. Negatif
palsu didapatkan bila antibodi yang beredar dalam sirkulasi sangat
rendah karena antibodi banyak terikat pada trombosit. Teknik
imunoflueresen : paling sensitif 92%, tetapi kurang spesifik 30%. Kadar
antibodi platelet tidak berhubungan dengan derajat penyakit, hanya
membantu diagnosis kadar Ab platelet berhubungan dengan jumlah trombosit
sangat berarti menunjukkan prognosis, tetapi tidak dianjurkan sebagai
dasar diagnosis (RS dr. Soetomo,2008).
a. Anamnesis
a. Anamnesis
- Riwayat obat (heparin, alkohol, sulfanamides, kuinidin/kuinin, aspirin) dan bahan kimia.
- Gejala sistemik: pusing, demam, penurunan berat badan.
- Gejala autoimun: artralgia, rash kulit, rambut rontok.
- Riwayat perdarahan (lokasi, banyak, lama), risiko HIV, status
- kehamilan, riwayat transfusi, riwayat keluarga (trombositopenia, gejala perdarahan, dan kelainan autoimun).
- Penyakit penyerta meningkatkan risisko perdarahan (kelainangastrointestinal, sistem saraf pusat, dan urologi).
- Kebiasaan/hobi: aktivitas yang traumatik.
b. Pemeriksaan fisik
- Perdarahan (lokasi, dan beratnya).
- Jarang ditemukan organomegali, tidak ikterus atau stigmata penyakit hati kronis.
- Tanda infeksi (bakteremia/infeksi HIV)
- Tanda penyakit autoimun (artritis, goiter, nefritis, vaskulitis)
c. Pemeriksaan penunjang
- Darah tepi: hitung trombosit <150.000/uL tanpa sitopenia lainnya, morfologi darah tepi dijumpai tromboblas berukuran lebih besar.
- Pemeriksaan serologi (dengue, CMV, EBV, HIV, rubella).
- Pemeriksaan ACA, Coom’s test, C3, C4, ANA. Anti dsDNA.
- Pemeriksaan hemostatis normal kecuali pada perdarahan yang memanjang dan komplikasi.
- Pemeriksaan pungsi sumsum tulang: megakariosit normal atau meningkat.
- Pemeriksan autoantibodi trombosit.
- Diagnosis banding
Dengan trombositopenia sekunder
misal pada hipersplenisme, dan kelainan infiltrasi sumsum tulang oleh
penyakit tertentu dapat diselesaikan dengan pemeriksaan sumsum tulang.
Waktu perdarahan memanjang pada kelainan vaskuler, seperti purpura
nontrombositopenia. Tes konsumsi protrombin abnormal dapat ditemui pada
penyakit defisiensi faktor pembekuan (faktor IX, faktorVIII/vWF dan
lain-lain), (Supandiman,1997).
Secara klinis perdarahan akibat trombositopeni harus dibuat diagnosis banding dengan trombostein, purpura vaskuler, dan defisiensi faktor koagulasi. Endokarditis bakteria subakut terdapat petekie dan splenomegali serupa PTI, tetapi endokarditis ada febris dan kelainan jantung. Trombositopeni sekunder biasanya dilakukan atas dasar kelainan fisik tidak ditemukan pada PTI hepatosplenomegali. Limfadenopati pada leukemia (Supandiman,1997).
Secara klinis perdarahan akibat trombositopeni harus dibuat diagnosis banding dengan trombostein, purpura vaskuler, dan defisiensi faktor koagulasi. Endokarditis bakteria subakut terdapat petekie dan splenomegali serupa PTI, tetapi endokarditis ada febris dan kelainan jantung. Trombositopeni sekunder biasanya dilakukan atas dasar kelainan fisik tidak ditemukan pada PTI hepatosplenomegali. Limfadenopati pada leukemia (Supandiman,1997).
Yang sering digunakan prednison,
dosis 1 mg/ kg BB / hari selam 1-3 bulan. Bila diperlukan
parenteral(injeksi) Methylprenison sodium suxinat dosis 1g/hari selama 3
hari (RS dr. Soetomo,2008).
Efek steroid (prednison) tampak setelah 24-48 hari (Hanidin 1978). Angka kesembuhan 60-70%. Evaluasi efek steroid dilakukan 2-4 minggu. Bila responsif dosis diturunkan perlahan sampai kadar trombosit stabil atau dipertahankan sekitar 50.000/mm3 (RS dr. Soetomo,2008). Pemberian prednison maksimal selama 6 bulan. Apabila lebih dari 4 minggu pasien tidak berespon dengan prednison, prednison jangan diberikan lagi.
Hasil terapi :
Efek steroid (prednison) tampak setelah 24-48 hari (Hanidin 1978). Angka kesembuhan 60-70%. Evaluasi efek steroid dilakukan 2-4 minggu. Bila responsif dosis diturunkan perlahan sampai kadar trombosit stabil atau dipertahankan sekitar 50.000/mm3 (RS dr. Soetomo,2008). Pemberian prednison maksimal selama 6 bulan. Apabila lebih dari 4 minggu pasien tidak berespon dengan prednison, prednison jangan diberikan lagi.
Hasil terapi :
Respon lengkap : ada perbaikan
klinis + trombosis tercapai ≥100.000/mm3 dan tidak terjadi
trombositopeni berulang bila dosis steroid diturunkan.
Respon parsial : perbaikan klinis = trombosis mencapai 50.000/mm3 dan memerlukan terapi steroid dosis rendah untuk mencegah perdarahan dan dengan jangka waktu 6 bulan.
Respon parsial : perbaikan klinis = trombosis mencapai 50.000/mm3 dan memerlukan terapi steroid dosis rendah untuk mencegah perdarahan dan dengan jangka waktu 6 bulan.
Respon minimal : perbaikan klinis
+ trombosis mencapai 50.000/mm3 dan memerluka steroid dosis rendah
untuk mencegah perdarahan dengan jangka waktu > 6 bulan
Tidak ada respon : tidak ada
perbaikan klinis dannkelainan trombosit tidak dapat mencapai 50.000/mm3
setelah terapi steroid dosis maksimal (RS dr. Soetomo,2008).
e. Splenektomi
e. Splenektomi
Bila terapi steroid dianggap
gagal, segera dilanjutkan splenektomi. Angka keberhaslan 70-100%.
Splenektomi bertujuan untuk mencegah dekstruksi trombosit yang telah
diliputi antibodi dan menurunkan sintesis antibodi platelet (RS dr.
Soetomo,2008).
Indikasi Spelektomi : Gagal
remisi/perbaikan dengan steroid dalam 6 bulan, perlu dosis maintance
steroid yang tinggi, dan adanya kontraindikasi/intoleransi terhadap
steroid (RS dr. Soetomo,2008)..
f. Imunosupresi lain
f. Imunosupresi lain
Bila terjadi refrakter tehadap
terapi kortikoteroid dan splenektomi, maka akan diberikan imunosupresi
lain. Imunoglobulin diperkenalkan sejak 1981 hasil perlu penelitian
lebih lanjut. Bila terjadi perdarahan darurat (perdarahan otak, dan
persalinan) dapat diberikan imunoglobulin, kortikosteroid, transfusi
trombosit, dan splenoktomi darurat (RS dr. Soetomo,2008).
g. Terapi suporti PTI kronis
Membatasi aktivitas yang berisiko
trauma.Hindari obat yang ganggu fungsi trombosit.Transfusi PRC sesuai
kebutuhan.Transfusi perdarahan bila : perdarahan masif, adanya ancaman
perdarahan otak/SSP, persiapan untuk operasi besar (RS dr.
Soetomo,2008).
f. Perawatan rumah sakit untuk
pasien dengan:Perdarahan berat yang mengancam jiwa.Trombosit
<20.000/ul dengan perdarahan mukosa bermakna.Trombosit >50.000/ul
asimtomatik/dengan purpura minimal tidak diterapi.Trombosit
<30.000/ul dengan/tanpa gejala, 30.000-50.000/ul dengan perdarahan
bermakna, Kadar trombosit berapa saja dengan perdarahan yang mengancam
jiwa (RS dr. Soetomo,2008).
g. Komplikasi
Peradarahan masif: saluran cerna,
otak, DIC Anemia Berkembang ke arah keganasan atau penyakit autoimun
lain (20%) Menjadi leukemia dan limfoma (3,8 %) Menjadi SLE (4 %)Kasus
fatal dengan sebab kematian :
1) Perdarahan intrakranial (11%)
1) Perdarahan intrakranial (11%)
2) Sepsis pasca splenoktomi atau pasca terapi imunosupresif (RS dr. Soetomo,2008.
h. Infeksi, ITP berat, DM induiced steroid, hipertensi immunocompromised (RS dr. Soetomo,2008).
7. Prognosis
Faktor yang berpengaruh Umur : pada orang muda prognosis lebih baik
Jumlah trombosit : mempengaruhi respon terapi dan faktor prediktif menentukan risiko perdarahan intrakranial. Trombosit <20.000/mm3 risiko perdarahan intrakranial meningkat, semakin tinggi pada usia lanjut.
Kadar antibodi membantu menentukan respon terapi terhadap steroid dan splenektomi. Menurunnya kadar antibodi menunjukkan respon terapi yang baik
Prognosis jelek pada yang refrakter terhadap steroid, splenoktomi, atau imunosupresif lain. Mortalitas sekitar 16% (RS dr. Soetomo,2008).
Jumlah trombosit : mempengaruhi respon terapi dan faktor prediktif menentukan risiko perdarahan intrakranial. Trombosit <20.000/mm3 risiko perdarahan intrakranial meningkat, semakin tinggi pada usia lanjut.
Kadar antibodi membantu menentukan respon terapi terhadap steroid dan splenektomi. Menurunnya kadar antibodi menunjukkan respon terapi yang baik
Prognosis jelek pada yang refrakter terhadap steroid, splenoktomi, atau imunosupresif lain. Mortalitas sekitar 16% (RS dr. Soetomo,2008).
2.4. POLA JUMLAH TROMBOSIT PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
Dilingkungan Forum Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) maupun ditingkat
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM, sudah pernah membahas tuntas
mengenai hal ini bahwa transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien
dengan perdarahan yang berat seperti muntah darah, mimisan yang terus
menerus atau perdarahan dari saluran cerna bawah berupa BAB berdarah
segar.Jumlah trombosit yang rendah bahkan sampai dibawah 20.000 tanpa
pendarahan yang signifikan bukan merupakan indikasi untuk diberikan
trombosit sehingga kadar trombosit yang rendah saja tidak memerlukan
transfusi trombosit.Membicarakan mengenai transfusi trombosit ini akan
menguraikan sedikit tentang penyakit demam berdarah ini. Menurut WHO
secara klinis jika seseorang terinfeksi dengan virus dengue sebagai
penyebab penyakit Demam berdarah bisa tanpa gejala maupun dengan gejala.
Yang bergejala dibagi 2 lagi yaitu Demam dengue (DD) dan Dengue Haemorhagic fever (DHF).
Pasien dengan DHF biasanya dengan gejala yang lebih berat dan gejala
perdarahan yang lebih jelas. Saat ini sesuai dengan klasifikasi WHO
terakhir yang diterbitkan pada tahun 1997: derajat berat ringannya DHF
dibagi menjadi 4. Berat ringannya penyakit ini didasarkan atas
perdarahan yang terjadi, serta ada tidaknya gangguan sistim sirkulasi
pada saat pasien tersebut masuk rumah sakit. Semakin berat kondisi pada
saat masuk semakin tinggi derajat sakitnya dan tentunya hal ini
berhubungan dengan terjadinya kematian pada pasien tersebut. Selain
demam tinggi yang mendadak pasien kadang kala juga merasakan nyeri di
ulu hati, mual bahkan muntah, kepala pusing seperti melayang, pegal dan
rasa nyeri di otot. Setelah 2-5 hari bisa terjadi manifestasi perdarahan
baik berupa bintik merah pada kulit terutama di tangan, kaki dan dada,
mimisan, gusi berdarah bahkan sampai muntah darah.
Sebagai mana diketahui dan
umumnya masyarakat juga sudah mengetahui, pasien DHF selalu dihubungkan
dengan trombosit yang rendah. Kadar trombosit yang rendah juga menjadi
patokan kapan pasien tersebut harus dirawat. Walau sebenarnya selain
trombosit yang rendah adanya darah yang semakin pekat (hemokonsentrasi)
ditandai oleh hematokrit yang meningkat serta tanda-tanda perdarahan
merupakan hal lain yang juga dilihat sebelum memutuskan apakah pasien
tersebut perlu dirawat atau tidak.
Pada pasien demam berdarah selain
jumlah trombosit yang menurun fungsi trombosit juga menurun. Oleh
karena itu biasanya disebutkan bahwa pada pasien DHF trombosit
terganggu baik secara jumlah maupun secara kualitas. Sebagai mana kita
ketahui bahwa trombosit merupakan salah satu sel darah yang berperan
pada sistim keseimbangan proses pembekuan dan perdarahan (hemostasis)
di dalam tubuh kita. Oleh karena adanya gangguan pada trombosit ini juga
akan meningkatkan terjadinya proses pendarahan.
Adanya trombosit yang rendah
bukan berarti kita harus meningkatkan trombosit sesegara mungkin. Ada 3
hal yang diduga sebagai penyebab penurunan kadar trombosit didalam darah
yaitu penurunan produksi trombosit karena penekanan produksi di
sumsum tulang, penggunaan trombosit yang berlebihan dan adanya antibodi
anti trombosit dalam darah. Jika melihat hal-hal yang menjadi penyebab
kenapa trombosit turun ini, maka transfusi trombosit yang tidak pada
tempatnya justru akan memperburuk keadaan karena akan merangsang proses
inflamasi lebih lanjut sehingga penghancuran trombosit akan lebih
meningkat.
Seperti telah saya sebutkan tadi,
indikasi pemberian trombosit telah dibicarakan beberapa kali di Forum
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) dan di
tingkat Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Protokol mengenai
tatalaksana pasien dengan DHF khususnya mengenai kapan transfusi
trombosit ini diberikan, juga pernah disampaikan oleh pakar dari Divisi
Penyakit Trofis dan Infeksi Departemen Ilmu penyakit Dalam serta pakar
dari Divisi Hematologi dan Onkologi Medis Departemen Ilmu Penyakit
FKUI-RSCM. Pada protokol tersebut disampaikan bahwa transfusi trombosit
diberikan pada pasien dengan perdarahan spontan dan massif (banyak).
Pemberian transfusi trombosit juga harus dilakukan dengan hati-hati
dengan melihat komponen sistim pembekuan darah yang lain. Oleh karena
itu jumlah trombosit yang rendah bahkan lebih rendah dari 20.000 tanpa
perdarahan yang signifikan bukan merupakan indikasi dilakukan transfusi
trombosit. Pada pengalaman dilapangan karena ketidak tahuan kadang kala
keluarga pasien meminta kepada dokter agar keluarganya yang sedang
dirawat untuk segera ditransfusi trombosit padahal tidak ada indikasi
untuk pemberian transfusi trombosit.
Pengalaman penulis dalam merawat
pasien dengan DBD biasanya trombosit akan naik dengan sendirinya setelah
hari ke-7 sejak mulai terjadinya demam. Selama perawatan jika tidak
terjadi syok atau perdarahan massif, cairan infus yang diberikan yaitu
cairan kristaloid seperti cairan ringer laktat atau asering yang
diberikan untuk menjaga agar volume cairan didalam pembuluh darah tetap
baik.
Pada akhinya jika penanganan
pasien DBD sesuai protocol yang telah ditetapkan, pemberian komponen
darah trombosit dapat diberikan secara selektif. Sehingga pada saat
dibutuhkan oleh pasien sesuai indikasi tentunya komponen trombosit
tetap tersedia. Karena selain pada kasus DBD dengan perdarahan yang
massif, transfusi trombosit dibutuhkan juga untuk pasien-pasien dengan
kelainan darah yang lain dan juga pasien dengan gangguan liver yang
berat yang akan dilakukan tindakan.
Penelitian-penelitian yang
berfokus pada mekanisme-mekanisme molekuler yang meregulasi
atherosklerosis telah banyak dipublikasikan dalam jurnal-jurnal ilmiah
selama beberapa dekade. Sekarang ini atherosklerosis telah dikenali
sebagai sebuah penyakit berperantara inflamasi yang melibatkan berbagai
interaksi antara leukosit, sel-sel dinding pembuluh darah, dan
trombosit. Data terbaru menunjukkan bahwa CD40L bisa menjadi pemain inti
dalam proses atherosklerosis. CD40L merupakan sebuah protein yang
sangat melimpah dalam trombosit dan bisa memiliki peranan dalam
aspek-aspek inflammatory perkembangan lesi atherosklerosis, trombosis,
dan dalam restenosis.
CD40L
CD40L merupakan sebuah protein transmembran terimerik yang termasuk ke dalam famili faktor nekrosis tumor yang pada awalnya ditemukan pada sel-sel sistem imun (sel-sel CD4+ teraktivasi, sel mast, basofil, eosinofil, dan sel NK). Peranan CD40L dalam respon imun melibatkan pengikatan ke reseptor-reseptornya pada sel-sel B, CD40, untuk menginduksi proliferasi sel B, menghasilkan sel B memori, menghambat apoptosis sel B, dan memperantarai perubahan kelas antibodi. Akan tetapi kemudian ditemukan bahwa CD40L dan CD40 kedua-keduanya terdapat pada beberapa sel pembuluh darah, termasuk sel-sel endotelium, sel otot halus, monosit, dan makrofage. Disamping itu penelitian menunjukkan bahwa CD40L dan CD40 juga terdapat dalam trombosit. CD40L yang diekspresikan pada permukaan selanjutnya membelah selama beberapa menit sampai jam, menghasilkan sebuah fragmen terlarut yang disebut sCD40L yang tetap trimerik strukturnya. Penelitian tentang distribusi CD40L dalam sel menunjukkan bahwa >95% CD40L yang bersirkulasi terdapat dalam trombosit. Ini menunjukkan bahwa kejadian-kejadian stimulatori trombosit harus dipertimbangkan dalam konteks biologi dan patologi fungsi CD40L.
CD40L dan sCD40L diketahui memiliki domain struktural yang memungkinkan protein-protein ini memiliki banyak fungsi. Pertama, domain homologi faktor nekrosis tumor memungkinkan pengikatan ke reseptornya, yakni CD40. Kedua, motif lysin-arginin-asam glutamat (KGD), yang tetap menjadi bagian dari produk pembelahan sCD40L, memungkinkan pengikatannya ke glikoprotein (GP) IIb/IIIa. Ketiga, struktur trimerik dari CD40L dan produk pembelahan yang terlarut memungkinkan untuk induksi reaksi pensinyalan ketika terikat ke reseptor. Aktivitas fungsional dari CD40L merupakan refleksi dari domain-domain yang banyak ini. Ketika diekspresikan pada permukaan trombosit dan dipaparkan terhadap sel-sel vaskular yang membawa CD40, CD40L yang terkait trombosit mampu menginisiasi berbagai respons inflammatory, termasuk ekspresi reseptor adhesi inflammatory, ekspresi faktor jaringan, dan pelepasan chemokin. Telah diketahui bahwa sCD40L juga proinflammatory, walaupun penelitian-penelitian lain gagal mengamati aktivitas-aktivitas ini. Penelitian-penelitian tentang mencit yang membawa penghapusan gen CD40L telah menunjukkan bahwa motif KGD terhadap protein ini juga bersifat fungsional. Dengan demikian, sCD40L memiliki potensi untuk memperantarai beberapa kejadian dalam pembuluh darah. Mediator Inflammatory Atherosklerosis: Peranan Kunci CD40L
Penelitian-penelitian terdahulu yang menggunakan model mencit untuk atherosklerosis menekankan peranan penting dari leukosit. Defisiensi-defisiensi molekul yang terlibat baik dalam rolling leukosit, perekrutan leukosit, atau penahanan leukosit mengurangi ukuran plak atherosklerosis, utamanya melalui pengurangan deposisi lipid, proliferasi sel otot halus, dan migrasi. Penelitian tambahan menunjukkan limfosit T dan B yang berinfiltrasi juga terlibat. Sel-sel ini, disamping makrofage dan sel-sel vaskular, melepaskan berbagai sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan untuk mempromosikan migrasi dan proliferasi sel-sel otot halus dan menginduksi ekspresi reseptor adhesi leukosit. Pada akhirnya, faktor-faktor yang dilepaskan oleh sel-sel ini menginduksi sintesis matriks metaloproteinase yang bisa mengarah pada kerusakan plak. Banyak dari mediator inflammatory ini yang telah dibuktikan terlibat dalam restenosis dan atherosklerosis imbas graf. Karena produksi mediator-mediator inflammatory ini merupakan sebuah penyebab utama perkembangan lesi atherosklerosis, maka pertanyaan mendasar muncul tentang identitas pemicu produksinya.
Karena banyak dari protein yang diidentifikasi di atas bisa diinduksi oleh CD40L, maka sangat menarik jika hubungan protein ini dengan perkembangan lesi atherosklerosis bisa ditunjukkan. Mach dan rekan-rekannya menemukan bahwa gangguan fungsi CD40L pada mencit dengan memberikan antibodi CD40L pemblokir dapat mencegah perkembangan penyakit atherosklerosis. Litgens dkk menargetkan gen CD40L pada mencit ApoE-/-, yang juga sangat menghambat perkembangan lesi. Interaksi CD40-CD40L juga terlibat dalam kestabilan plak, kemungkinan besar karena pelepasan matriks metaloproteinase.
CD40L
CD40L merupakan sebuah protein transmembran terimerik yang termasuk ke dalam famili faktor nekrosis tumor yang pada awalnya ditemukan pada sel-sel sistem imun (sel-sel CD4+ teraktivasi, sel mast, basofil, eosinofil, dan sel NK). Peranan CD40L dalam respon imun melibatkan pengikatan ke reseptor-reseptornya pada sel-sel B, CD40, untuk menginduksi proliferasi sel B, menghasilkan sel B memori, menghambat apoptosis sel B, dan memperantarai perubahan kelas antibodi. Akan tetapi kemudian ditemukan bahwa CD40L dan CD40 kedua-keduanya terdapat pada beberapa sel pembuluh darah, termasuk sel-sel endotelium, sel otot halus, monosit, dan makrofage. Disamping itu penelitian menunjukkan bahwa CD40L dan CD40 juga terdapat dalam trombosit. CD40L yang diekspresikan pada permukaan selanjutnya membelah selama beberapa menit sampai jam, menghasilkan sebuah fragmen terlarut yang disebut sCD40L yang tetap trimerik strukturnya. Penelitian tentang distribusi CD40L dalam sel menunjukkan bahwa >95% CD40L yang bersirkulasi terdapat dalam trombosit. Ini menunjukkan bahwa kejadian-kejadian stimulatori trombosit harus dipertimbangkan dalam konteks biologi dan patologi fungsi CD40L.
CD40L dan sCD40L diketahui memiliki domain struktural yang memungkinkan protein-protein ini memiliki banyak fungsi. Pertama, domain homologi faktor nekrosis tumor memungkinkan pengikatan ke reseptornya, yakni CD40. Kedua, motif lysin-arginin-asam glutamat (KGD), yang tetap menjadi bagian dari produk pembelahan sCD40L, memungkinkan pengikatannya ke glikoprotein (GP) IIb/IIIa. Ketiga, struktur trimerik dari CD40L dan produk pembelahan yang terlarut memungkinkan untuk induksi reaksi pensinyalan ketika terikat ke reseptor. Aktivitas fungsional dari CD40L merupakan refleksi dari domain-domain yang banyak ini. Ketika diekspresikan pada permukaan trombosit dan dipaparkan terhadap sel-sel vaskular yang membawa CD40, CD40L yang terkait trombosit mampu menginisiasi berbagai respons inflammatory, termasuk ekspresi reseptor adhesi inflammatory, ekspresi faktor jaringan, dan pelepasan chemokin. Telah diketahui bahwa sCD40L juga proinflammatory, walaupun penelitian-penelitian lain gagal mengamati aktivitas-aktivitas ini. Penelitian-penelitian tentang mencit yang membawa penghapusan gen CD40L telah menunjukkan bahwa motif KGD terhadap protein ini juga bersifat fungsional. Dengan demikian, sCD40L memiliki potensi untuk memperantarai beberapa kejadian dalam pembuluh darah. Mediator Inflammatory Atherosklerosis: Peranan Kunci CD40L
Penelitian-penelitian terdahulu yang menggunakan model mencit untuk atherosklerosis menekankan peranan penting dari leukosit. Defisiensi-defisiensi molekul yang terlibat baik dalam rolling leukosit, perekrutan leukosit, atau penahanan leukosit mengurangi ukuran plak atherosklerosis, utamanya melalui pengurangan deposisi lipid, proliferasi sel otot halus, dan migrasi. Penelitian tambahan menunjukkan limfosit T dan B yang berinfiltrasi juga terlibat. Sel-sel ini, disamping makrofage dan sel-sel vaskular, melepaskan berbagai sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan untuk mempromosikan migrasi dan proliferasi sel-sel otot halus dan menginduksi ekspresi reseptor adhesi leukosit. Pada akhirnya, faktor-faktor yang dilepaskan oleh sel-sel ini menginduksi sintesis matriks metaloproteinase yang bisa mengarah pada kerusakan plak. Banyak dari mediator inflammatory ini yang telah dibuktikan terlibat dalam restenosis dan atherosklerosis imbas graf. Karena produksi mediator-mediator inflammatory ini merupakan sebuah penyebab utama perkembangan lesi atherosklerosis, maka pertanyaan mendasar muncul tentang identitas pemicu produksinya.
Karena banyak dari protein yang diidentifikasi di atas bisa diinduksi oleh CD40L, maka sangat menarik jika hubungan protein ini dengan perkembangan lesi atherosklerosis bisa ditunjukkan. Mach dan rekan-rekannya menemukan bahwa gangguan fungsi CD40L pada mencit dengan memberikan antibodi CD40L pemblokir dapat mencegah perkembangan penyakit atherosklerosis. Litgens dkk menargetkan gen CD40L pada mencit ApoE-/-, yang juga sangat menghambat perkembangan lesi. Interaksi CD40-CD40L juga terlibat dalam kestabilan plak, kemungkinan besar karena pelepasan matriks metaloproteinase.
Hubungan Trombosit-CD40L
Keterlibatan trombosit dan
unsur-unsur lain dari sistem hemostatik/trombotik pada atherosklerosis
merupakan sebuah bagian dari konsep yang perta akali dicetuskan oleh Dr
Russell Ross. Konsep ini menyebutkan bahwa aktivasi dinding pembuluh
darah secara terus menerus berkontribusi bagi perekrutan trombosit, yang
pada gilirannya memungkinkan kerusakan endotelium lebih lanjut. Teori
perekrutan trombosit pada endotelium yang utuh secara fisik tetapi
terdisregulasi secara fungsional kelihatannya lebih relevan, karena
sel-sel endotelium teraktivasi mendukung rolling trombosit,
translokasinya, dan terkadang, perlekatannya.
Akan tetapi, trombosit juga merupakan sumber utama CD40L bersirkulasi, sehingga melahirkan pertanyaan tentang peranannya dalam perkembangan penyakit atherosklerosis, termasuk pembentukan oklusi trombotik. Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa CD40L terombosit menjadi termobilisasi dalam indikasi trombotik koroner akut. Kadar sCD40L yang meningkat juga ditemukan pada pasien dengan sindrom koroner akut, dan penyakit oklusif arteri perifer. Kadar sCD40L plasma yang meningkat merupakan sebuah faktor risiko untuk kejadian-kejadian kardiovaksular di masa mendatang pada wanita yang sehat. Penyimpanan konsentrat tombosit untuk transfusi klinis diketahui melepaskan ≤50% CD40L trombosit: Transfusi konsentrasi ke pasien menghasilkan respons demam yang tergantung CD40L.
Akan tetapi, trombosit juga merupakan sumber utama CD40L bersirkulasi, sehingga melahirkan pertanyaan tentang peranannya dalam perkembangan penyakit atherosklerosis, termasuk pembentukan oklusi trombotik. Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa CD40L terombosit menjadi termobilisasi dalam indikasi trombotik koroner akut. Kadar sCD40L yang meningkat juga ditemukan pada pasien dengan sindrom koroner akut, dan penyakit oklusif arteri perifer. Kadar sCD40L plasma yang meningkat merupakan sebuah faktor risiko untuk kejadian-kejadian kardiovaksular di masa mendatang pada wanita yang sehat. Penyimpanan konsentrat tombosit untuk transfusi klinis diketahui melepaskan ≤50% CD40L trombosit: Transfusi konsentrasi ke pasien menghasilkan respons demam yang tergantung CD40L.
Produksi sCD40L dari trombosit
dan aktivitas trombotiknya yang tampak terkait erat dengan integrin
trombosit GP IIb/IIIa diketahui terlibat dalam produksi sCD40L karena
antagonis IIb/IIIa memperkecil pelepasan CD40L dari trombosit
teraktivasi in vitro. Antagonis-antagonis ini memblokir pelepasan dari
trombosit-trombosit terstimulasi bahkan tanpa agregasi, yang menunjukkan
peranan langsung untuk GP IIb/IIIa dalam mekanisme pembelahan. Kedua,
pengikatan langsung sCD40L ke GP IIb/IIIa menunjukkan bahwa kemampuan
sCD40L untuk mempromosikan dan menstabilkan trombosis dibawah laju
gesekan yang tinggi merupakan akibat dari interaksi langsung antara
kedua protein ini.
Restenosis
Dengan adanya hubungan dekat antara inflamasi dan restenosis, mungkin tidak mengherankan bahwa ada sebuah hubungan antara CD40L dan respons terhadap cedera vaskular. Bagaimana CD40L bisa terlibat dalam restenosis? Disamping itu, apakah CD40L yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas ini berasal dari trombosit? PCI diketahui mengganggu endotelium, menghasilkan keterpaparan permukaan trombogenik yang mendukung adhesi, aktivasi, dan agregasi trombosit. Trombi yang kaya trombosit bisa menjadi sumber konsentrasi CD40L proinflammatory tinggi yang terlokalisasi, baik pada permukaan trombosit atau pada lingkungan sekitarnya karena mereka melepaskan sCD40L. Artikel yang ditulis oleh Urbich kk memberikan sebuah mekanisme bagaimana sCD40L yang dihasilkan yang dihasilkan oleh trombosis bisa mempromosikan restenosis. Para penulis ini menunjukkan bahwa CD40L yang diekspresikan pada permukaan sel T dan trombosit teraktivasi, dan sCD40L yang dilepaskan dari trombosit, menghambat migrasi sel endotelium vena umbilikal manusia yang diinduksi faktor pertumbuhan sedangkan tidak mempengaruhi proliferasi sel dan kematian sel. Penelitian mereka juga menunjukkan bahwa inhibisi migrasi yang diinduksi CD40L dicapai dengan pembentukan radikal-radikal bebas dan inhibisi produksi NO. Dari pengamatan-pengamatan ini, mereka berspekulasi bahwa interaksi sCD40L dengan CD40 bisa menghambat reendotelisasi sebuah pembuluh darah yang cedera, sehingga meningkatkan proses restenotik.
Dengan adanya hubungan dekat antara inflamasi dan restenosis, mungkin tidak mengherankan bahwa ada sebuah hubungan antara CD40L dan respons terhadap cedera vaskular. Bagaimana CD40L bisa terlibat dalam restenosis? Disamping itu, apakah CD40L yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas ini berasal dari trombosit? PCI diketahui mengganggu endotelium, menghasilkan keterpaparan permukaan trombogenik yang mendukung adhesi, aktivasi, dan agregasi trombosit. Trombi yang kaya trombosit bisa menjadi sumber konsentrasi CD40L proinflammatory tinggi yang terlokalisasi, baik pada permukaan trombosit atau pada lingkungan sekitarnya karena mereka melepaskan sCD40L. Artikel yang ditulis oleh Urbich kk memberikan sebuah mekanisme bagaimana sCD40L yang dihasilkan yang dihasilkan oleh trombosis bisa mempromosikan restenosis. Para penulis ini menunjukkan bahwa CD40L yang diekspresikan pada permukaan sel T dan trombosit teraktivasi, dan sCD40L yang dilepaskan dari trombosit, menghambat migrasi sel endotelium vena umbilikal manusia yang diinduksi faktor pertumbuhan sedangkan tidak mempengaruhi proliferasi sel dan kematian sel. Penelitian mereka juga menunjukkan bahwa inhibisi migrasi yang diinduksi CD40L dicapai dengan pembentukan radikal-radikal bebas dan inhibisi produksi NO. Dari pengamatan-pengamatan ini, mereka berspekulasi bahwa interaksi sCD40L dengan CD40 bisa menghambat reendotelisasi sebuah pembuluh darah yang cedera, sehingga meningkatkan proses restenotik.
DBD Pada Anak-anak
Pola Jumlah Trombosit Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) pada Anak-Anak yang Petanda Serologinya Positif Anak Agung Ngurah Subawa, I Wayan Putu Sutirta Yasa 217
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan
oleh 4 serotipe virus dengue
(DEN-1, DEN-2, DEN- 3, DEN-4) dengan daya infeksi tinggi pada
manusia.Menurut jumlah kasus DBD di wilayah Asia Tenggara, Indonesia
mendapatkan peringkat kedua setelah Thailand. Dilaporkan sebanyak
58.301 kasus DBD terjadi di Indonesia sejak 1 Januari hingga 30 April
2004 dan 658 kematian, yang
mencakup 30 provinsi dan terjadi kejadian luar biasa (KLB) pada 293 kota
di 17 provinsi.1Bebepapa penelitian lain
menunjukkan kejadian DBD lebih
banyak terjadi pada anak-anak yang lebih muda dari 15 tahun.2
Trombositopenia merupakan salah satu kriteria laboratorium non spesifik
untuk menegakkan diagnosis DBD yang ditetapkan oleh WHO.3 Hasil
penelitian Shah GS dkk4 tahun 2006 di Bangladesh, menunjukkan dari 100
penderita anak-anak yang positif infeksi dengue, 52 (61,7%) menunjukkan
trombositopenia pada penderita DBD dan DSS (Dengue Syock Syndrome).
Sedangkan penelitian Celia C Carlos dkk5 pada tahun 2005,anak-anak yang
menderita infeksi dengue menunjukkan penurunan jumlah trombosit sekitar
113,8 ą 58 (x103/μL) pada group
demam dengue dan 58,5 ą 84,1 (x103/μL) pada group DBD. Adanya
trombositopenia pada hari ketiga atau keempat pada saat sakit akan
mempermudah diagnosis DBD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pola jumlah trombosit pada
anak-anak yang menderita DBD berdasarkan petanda serologi IgG dan IgM.
BAHAN DAN CARA Penelitian ini dilaksanakan secara
retrospektif dengan cara melihat
catatan medis pasien anak-anak yang dirawat dengan DBD di Rumah Sakit
Sanglah Denpasar dari Juli 2005 sampai Juni 2006. Pemeriksaan serologi
IgG dangM dengan metode Captured Immunochromato-graphic. Sedangkan pemeriksaan jumlah trombosit dilakukan secara otomatis dengan alat hematology analyzer.
Hasil yang didapat dari catatan medis tersebut kemudian di simpulkan
dan dijabarkan secara deskriptip dengan grafik dan narasi.HASIL Selama
bulan Juli 2005 sampai Juni 2006 terdapat 42 pasien pediatri yang
menderita DBD dengan hasil pemeriksaan serologi positif, sebanyak 17
anak (40,5%) dengan IgG positif, 9 anak (21,4%) IgM positif dan 16 anak
(38,1%) dengan IgG dan IgM positif. Rata-rata usia penderita sekitar 6,9
tahun (dengan rentang usia 8 bulan-13 tahun) dan proporsi penderita
anak laki-laki sama dengan anak wanita. Berdasarkan catatan medis dari
penderita, kebanyakan penderita datang ke RS Sanglah pada hari keempat
perjalanan penyakit (dengan rentang saat masuk antara panas hari ke 3
sampai hari ke 5).
J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3 September 2007
218050100 150 IgG IgG dan IgM IgM
99.8101.5122.9 Rata-rata jumlah trombosit (x103 /mm3 ) Jenis
Imunoglobulin Grafik 2. Distribusi rata-rata jumlah trombosit
berdasarkan jenis Imunoglobulin pada hari ke 4 perjalanan penyakit
0100200IgGIgG danIgMIgM71.861.7105.3Rata-rata jumlah
trombosit(x103/mm3)Jenis Imunoglobulin Grafik 3. Distribusi rata-rata
jumlah trombosit berdasarkan jenis imunoglobulin pada hari ke-5
perjalanan penyakit Pada hari ke 4 perjalanan penyakit DBD, didapatkan
rata-rata jumlah trombosit pada pasien DBD anak-anak paling rendah pada
serologi IgG saja yang positif (99,8ą65,9 x 103/mm3), kemudian diikuti
dengan IgG dan IgM positif (101,5ą72,7 x 103/mm3), dan paling tinggi
pada IgM nya saja positif (122,9ą44,8 x 103/mm3). (Tabel 2). Sedangkan
pada hari ke-5 perjalanan penyakit, rata-rata jumlah trombosit pada
penderita DBD anak-anak paling rendah pada serologi IgG dan IgM yang
positif (61,7ą40,2 x 103/mm3) kemudian diikuti berturut-turut dengan IgG
yang positif (71,8ą80,0 x 103/mm3) dan IgM yang positif (105,3ą51,4 x
103/mm3). (Grafik 3).Pada hari ke-6 perjalanan penyakit, rata-rata
jumlah trombosit menyerupai distribusi rata-rata jumlah trombosit pada
hari ke-4 perjalanan penyakit yaitu paling rendah pada IgG positif
(61,9ą51,4 x103/mm3) kemudian diikuti IgG dan IgM positif(68,7ą36,9 x
103/mm3) dan IgM positif (81,4ą57,4 x 103/mm3). (Grafik 4)
0,20,40,60,80,100,120 Hari 4 Hari 5 Hari 6 Hari 7 Hari
8104.5,74.5,68.4,73.5,85.8 Rata-rata jumlah trombosit(x103/mm3) Hari
perjalanan penyakit Grafik 1. Distribusi jumlah trombosit penderita DBD
pada anak berdasarkan hari perjalanan Penyakit 0,50,100IgG IgG dan
IgMIgM 61.9,68.7,81.4 Rata-rata jumlah trombosit(x103/mm3)Jenis
Imunoglobulin Grafik 4. Distribusi rata-rata jumlah trombosit
berdasarkan jenis Imunoglobulin pada hari ke-6 perjalanan penyakit Pola
Jumlah Trombosit Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) pada Anak-Anak
yang Petanda Serologinya Positif Anak Agung Ngurah Subawa, I Wayan Putu Sutirta Yasa
219 Pada hari ke-7 perjalanan penyakit, penderita yang mempunyai IgG
positif (73,9ą51,2 x 103/mm3) atau IgG dan IgM positif (71,5ą45,8 x
103/mm3), rata-rata jumlah trombositnya mengalami peningkatan dari hari
sebelumnya sedangkan penderita yang mempunyai IgM saja yang positif
justru masih mengalami penurunan dari hari sebelumnya (68,2ą32,2 x
103/mm3). (Grafik 5) Pada hari ke-8 perjalanan penyakit yang merupakan
suatu fase konvalesen sumsum tulang terjadi hiperseluler dan terutama
diisi oleh eritropoisis dengan pembentukan trombosit yang sangat aktif.
Disini dapat dilihat penderita yang mempunyai IgG dan IgM positif
(89,3ą64,5 x 103/mm3) cenderung memiliki jumlah trombosit yang lebih
besar dari pada penderita yang hanya memiliki IgG saja positif
(83,2ą46,7 x 103/mm3) atau IgM saja yang positif (83,3ą67,7 x 103/mm3).
Tetapi rata-rata jumlah trombosit penderita DBD anak-anak semuanya
mengalami peningkatan pada perjalanan penyakit hari ke-8. (Grafik 6)
Pembahasan
Rata-rata jumlah trombosit
penderita DBD pada anak-anak, tampak bahwa pada hari keempat perjalanan
penyakit jumlah trombosit sekitar 104.500/mm3 kemudian terus menurun dan
mencapai puncaknya paling rendah pada hari keenam sekitar 60.400/mm3.
Setelah hari keenam perjalanan penyakit rata-rata jumlah trombosit
mengalami kenaikan secara perlahan-lahan dimana pada hari ke 8 mencapai
sekitar 85.800/mm3 (grafik 1). Hal ini dapat dijelaskan, pada
pemeriksaan sumsum tulang penderita DBD pada awal demam terdapat
hipoplasia sumsum tulang dengan hambatan pematangan dari semua sistem
hemopoisis terutama megakariosit. Setelah hari ke-5 sampai hari ke-8
perjalanan penyakit, terjadi peningkatan cepat eritropoisis dan
megakariosit muda. Pada fase konvalesen sumsum tulang terjadi
hiperseluler dan terutama diisi oleh eritropoisis dengan pembentukan
trombosit yang sangat aktif.12 Dari hasil penelitian ini, terlihat bahwa
jumlah trombosit penderita DBD pada anak-anak menunjukkan pola yang
spesifik terhadap antibodi IgG dan IgM yang ditimbulkan oleh infeksi
virus 65,70,75 IgG IgG dan IgM IgM 73.9,71.5,68.2 Rata-rata jumlah
trombosit (x103 /mm3) Jenis Imunoglobulin Grafik 5. Distribusi rata-rata
jumlah trombosit berdasarkan jenis Imunoglobulin pada hari ke-7
perjalanan penyakit 80,82,84,86,88,90 IgG IgG dan IgM IgM 83.2,89.3,83.3
Rata-rata jumlah trombosit(x103 /mm3 ) Jenis Imunoglobulin Grafik 6.
Distribusi rata-rata jumlah trombosit berdasarkan jenis Imunoglobulin
pada hari ke-8 perjalanan penyakit dengue. Pada infeksi primer (IgM
positif), rata-rata jumlah trombosit pada hari ke-4 sampai hari ke-6
perjalanan penyakit cenderung lebih tinggi daripada infeksi sekunder
(IgG positif atau IgG dan IgM positif). Sedangkan pada hari berikunya
yang merupakan suatu fase konvalesen justru terjadi hal sebaliknya
dimana pada infeksi primer rata-rata jumlah trombosit cenderung lebih
rendah dari infeksi sekunder. Disini terlihat fase konvalesen pada
infeksi primer terjadi lebih lambat dari pada infeksi sekunder yang
berarti peningkatan cepat eritropoisis dan megakariosit muda selama fase
konvalesen pada infeksi primer lebih lambat dari infeksi sekunder.
Hubungan tipe serologi yang ditimbulkan dengan berat ringannya
trombositopeni masih belum jelas. Seperti diketahui sebelumnya serologi
yang dapat dideteksi berupa IgG dan atau IgM spesifik terhadap virus
dengue merupakan respon imun humoral yang dapat terbentuk jika
terinfeksi virus dengue. Antibodi ini dapat ditemukan dalam darah
sekitar demam hari kelima. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat
sekitar demam hari ke-14 sedangkan pada infeksi sekunder antibodi IgG
meningkat pada hari kedua. Diagnosis infeksi primer dapat ditegakkan
dengan mendeteksi antibodi IgM setelah sakit hari kelima, diagnosis
infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan
antibodi IgG dan IgM yang cepat.11 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya trombositopenia pada penderita DBD yaitu adanya pelepasan
sitokin kedalam sirkulasi selama fase awal demam akut dari infeksi
dengue. sitokin tersebut antara lain tumour necrosis factor (TNF-α), interleukins (IL-2, IL-6, IL-8) dan interferon (IFN-α
dan IFN-γ). Kadar sitokin tersebut berhubungan dengan derajat berat
DBD. Waktu terjadinya supresi sumsum tulang juga berhubungan dengan
peningkatan kadar sitokin dalam darah. Adanya komplemen yang berperan
dalam destruksi trombosit yaitu C3dg, merupakan bentuk aktif C3,
ditemukan pada permukaan trombosit, dan sejumlah C3dg positif
berhubungan dengan penurunan jumlah trombosit dalam sirkulasi. Selain
itu trombositopenia terjadi sebagai akibat peningkatan penggunaan
trombosit selama proses koagulopati konsumtif yangterjadi pada setiap
penderita DBD.7- 10 Pola trombositopenia yang terjadi pada anak-anak
yang menderita DBD menunjukkan bahwa pada awal infeksi virus dengue,
penderita yang mengalami infeksi sekunder (IgG positif atau IgG dan IgM
positif) cenderung jumlah trombositnya lebih rendah dari pada infeksi
primer (IgM positif). Sedangkan pada fase konvalescen penderita yang
mengalami infeksi sekunder cenderung jumlah trombositnya lebih cepat
meningkat dari pada infeksi primer. Penelitian ini
merupakan penelitian pendahuluan
dan diharapkan dilakukannya penelitian lanjutan dengan jumlah sampel
yang lebih banyak dan ruang lingkup yang lebih luas.
Top of Form
DAFTAR PUSTAKA
Dr.Umar zein, kepala dinkes kota medan. 2008. Www.waspada.online.com
Canadian Hemophilia Society, What is Hemophilia ? – 1999
World Federation of Hemophilia, Hemophilia in Pictures – 1998. Copyright Indonesian Hemophilia Society – 2007 Created By Gugun
World Federation of Hemophilia, Hemophilia in Pictures – 1998. Copyright Indonesian Hemophilia Society – 2007 Created By Gugun
Price.Sylvia A &Lloraine M.Wilson,2003. Patofisioogi klinik proses-proses penyakit vol.1.)
Andra.majalah farmacia vol.6no7, februari 2007