Selasa, 04 November 2014

telur


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Telur ayam infertil merupakan telur yang tidak dapat menetas. Telur ayam
infertil dapat berasal dari telur yang tidak dibuahi oleh pejantan atau yang biasa
disebut sebagai telur konsumsi maupun telur tetas yang pada dasarnya sengaja
dibuahi oleh pejantan namun dalam proses penetasan ternyata tidak dapat
menetas. Telur ayam infertil yang berasal dari telur tetas dapat diperoleh saat
candling pada proses penetasan. Candling adalah proses peneropongan telur
menggunakan cahaya untuk melihat perkembangan embrio dalam telur.
Telur infertil dapat disebabkan oleh berbagai kemungkinan seperti
perbandingan antara pejantan dan induk yang kurang seimbang, gizi pejantan dan
induk kurang sempurna, umur pejantan atau induk ayam yang sudah terlalu tua,
embrio mengalami mati dini karena penyimpanan telur yang kurang baik, terlalu
lama dan dosis fumigasi yang terlalu tinggi (Nuryati, 2002). Telur infertil yang
diperoleh dari proses candling pada saat penetasan telur menggunakan mesin tetas
jumlahnya dapat mencapai 26,7% dari total telur yang masuk ke dalam mesin
tetas. Apabila kapasitas mesin tetas yang digunakan mencapai ribuan, maka telur
infertil yang diperoleh juga akan banyak. Anonim (2009) menyebutkan bahwa
perusahaan penetasan telur dapat menghasilkan 15.000 butir telur ayam infertil
dalam sehari. Jumlah telur infertil yang sangat banyak ini biasanya dijual kembali
1
2
dengan harga yang murah, berkisar antara Rp. 300 – Rp. 500 per butir pada tahun
2012.
Telur infertil hasil candling pada proses penetasan menggunakan mesin tetas
tergolong telur yang sudah tidak segar lagi karena sudah mengalami pemeraman
hingga berhari-hari dengan suhu 38oC. Faktor lingkungan atau kondisi
pemeraman serta waktu pemeraman telur dapat mempengaruhi sifat telur. Suhu
pemeraman yang lebih tinggi daripada suhu ruang yakni 38oC merupakan suhu
fisiologis yang dapat mengakibatkan mikrobia cepat sekali berkembang sehingga
dapat menyebabkan terjadinya hidrolisis protein dan lemak dalam telur.
Perubahan sifat telur terutama disebabkan oleh adanya kontaminasi mikrobia dari
luar yang masuk melalui pori-pori pada kerabang sehingga merusak isi telur.
Telur biasanya dimanfaatkan sebagai telur konsumsi dan sebagai bahan
pada industri pengolahan pangan. Sebagai telur konsumsi, zat gizi di dalam telur
tersebut perlu diperhatikan. Kandungan gizi telur ayam ras infertil pernah diteliti
oleh Anggrahini dan Almunifah (2012), hasil dari penelitian ini adalah kandungan
proksimat dan nilai kecernaan protein telur ayam ras infertil tidak mengalami
perubahan hingga pemeraman hari ke-10.
Telur menjadi salah satu bahan penting dalam pengolahan pangan. Sifat
fungsional telur yang berperan dalam proses pengolahan pangan adalah daya buih,
emulsifier, koagulasi, warna dan flavor (Stadelman dan Cotterill, 1973). Putih
telur pada bahan pangan, seperti sponge cake berperan dalam membentuk poripori,
membentuk struktur sponge cake yang mengembang dan stabil. Sifat
koagulasi (gelasi) yang baik pada putih telur juga berperan dalam memberikan
3
struktur sponge cake yang kokoh dan remahan yang sedikit. Selain itu, kuning
telur juga mengandung xanthofil yang berperan memberi warna kuning pada
sponge cake.
Banyak orang yang telah menggunakan telur infertil, baik untuk konsumsi
secara langsung maupun untuk bahan campuran dalam pengolahan pangan.
Tetapi, selama ini belum diketahui bagaimana sifat-sifat telur infertil tersebut.
Pada pengolahan pangan, sifat yang berperan adalah sifat fungsionalnya karena
sifat ini menentukan hasil akhir suatu produk pangan. Oleh karena itu, untuk
mengetahui bagaimana penggunaan telur infertil sebagai bahan dalam pengolahan
produk pangan perlu dilakukan penelitian mengenai sifat fungsional telur ayam
infertil dengan waktu pemeraman yang biasanya dilakukan oleh kebanyakan
perusahaan penetasan yakni 5, 7 dan 10 hari.
1.2 Tujuan Penelitian
1.2.1 Mengetahui dan mempelajari sifat fungsional meliputi viskositas, daya dan
stabilitas buih, kapasitas dan stabilitas emulsi, WHC, dan kekuatan gel putih
telur, telur utuh, dan kuning telur ayam ras infertil dengan waktu
pemeraman 5, 7 dan 10 hari.
1.2.2 Mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap sponge cake yang dibuat
dengan menggunakan telur ayam ras infertil pada waktu pemeraman 5, 7
dan 10 hari.
4
1.3 Manfaat Penelitian
1.3.1 Memberi informasi kepada para pelaku usaha pengolahan pangan mengenai
sifat fungsional dari telur ayam ras infertil yang berasal dari pemeraman
menggunakan mesin tetas.
1.3.2 Memberi informasi mengenai kegunaannya untuk membuat produk yakni
sponge cake.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Telur
Telur merupakan bahan pangan hewani yang kaya akan manfaat karena
kandungan gizi dan sifat fungsionalnya. Protein dan lemak merupakan zat gizi
mayor yang terdapat pada telur. Sifat fungsional telur sangat berperan dalam
menentukan kualitas produk akhir pada pengolahan pangan sehingga telur
mempunyai fungsi yang luas dalam industri pengolahan pangan seperti pada
pembuatan produk cake, pudding, saos, es krim dll.
Berdasarkan asalnya, telur terbagi menjadi dua yakni telur yang berasal dari
unggas dan non unggas. Telur yang berasal dari unggas adalah telur ayam negeri,
telur ayam kampung, telur bebek, telur burung onta, telur burung emu dan telur
angsa. Sedangkan telur yang berasal dari non unggas, seperti telur penyu dan telur
ikan salmon. Jenis-jenis telur yang biasa dikonsumsi (Anonim, 2013; Salsabila,
2011) adalah :
1. Telur ayam kampung, mempunyai berat sekitar 45 - 50 gram/butir. Seekor
induk ayam kampung mampu menghasilkan rata-rata 200 butir telur per ekor
per tahun. Bentuknya lonjong, ukurannya lebih kecil dari telur ayam negeri.
Warnanya putih agak kecoklatan. Warna kuning telurnya lebih pekat daripada
telur ayam negeri.
2. Telur ayam negeri (ayam ras), telur ini tergolong jenis telur yang paling sering
dan banyak di konsumsi dan dimanfaatkan oleh masyarakat di Indonesia
5
6
karena harganya yang terjangkau, ukurannya lebih besar dan mudah di dapat
daripada telur ayam kampung maupun itik. Menurut Hadiwiyoto (1983) telur
ayam ras tergolong telur yang mempunyai ukuran besar yakni mempunyai
berat 55-65 gram per butir. Warna kulit telur ayam ras biasanya coklat tetapi
ada sedikit yang berwarna putih. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Budiman dan Rukmiasih (2007) sifat fungsional telur ayam ras tergolong baik
dan optimum jika digunakan sebagai bahan baku atau campuran dalam
pembuatan olahan pangan daripada jenis telur itik maupun telur puyuh
sehingga pemanfaatan telur ayam ras pada pengolahan produk pangan
sangatlah luas.
3. Telur burung puyuh mempunyai ukuran yang kecil dengan berat 15 – 20
gram/butir, warna kulitnya bercak-bercak hitam kecoklatan. Memiliki kulit
kerabang yang tipis, dilapisi lapisan kulit atau membran yang alot, sehingga
mudah robek.
4. Telur bebek memiliki ukuran lebih besar dari telur ayam. Beratnya sekitar 55 –
75 gram /butir. Kulitnya berwarna hijau kebiruan, meskipun ada yang berwarna
putih. Selain itu, kulitnya lebih tebal dibandingkan dengan telur ayam.
Pemakainnya terbatas, karena berbau amis.
5. Telur penyu, memiliki berat kurang lebih 40-60 gram/butir, bentuknya bulat
menyerupai bola pingpong, warnanya kelabu dan memiliki kulit yang lunak
tetapi tidak mudah pecah.
6. Telur angsa memiliki berat kurang lebih 155 gram/butir, bentuknya lonjong
dan besar serta memiliki warna kulit yang putih.
7
7. Telur burung onta memiliki berat mencapai 1,4 kg dengan panjang 15 cm dan
lebar 13 cm, 20-24 kali berat telur ayam. Cangkangnya sangat tebal, diperlukan
bantuan palu untuk memecahnya.
8. Telur burung Emu berwarna hijau gelap, cangkangnya tebal tetapi mudah
dikupas. Panjangnya mencapai 134 mm dengan berat antara 700-900 gram,
ekuivalent dengan 10-12 telur ayam. Warna kuning telurnya lebih pucat dan
lebar, mengambil 45% dari volume telur dan flavornya kuat.
2.1.1 Struktur Telur Ayam
Setiap telur mempunyai bagian kerabang (kulit dan cangkang), putih telur
dan kuning telur. Struktur telur ayam dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Keterangan :
1. Cangkang, 2. Kuning Telur, 3. Keping Germinal, 4. Membran Cangkang,
5. Ruang Udara. 6. Membran Telur, 7. Putih Telur, 8. Kalaza.
Gambar 2.1 Struktur Telur (Budiman, 2010)
Diantara putih telur dan kuning telur dibatasai oleh suatu lapisan tipis yang
disebut kalaza. Kuning telur tersimpan dibagian pusat telur berbentuk hampir
seperti bola. Pada Tabel 2.1 dapat dilihat perbandingan porsi putih telur, kuning
telur dan kerabang.
8
Tabel 2.1 Perbandingan Porsi Putih Telur, Kuning Telur, dan Kerabang
No Komponen Berat rata-rata
pada tiap telur
dalam gram*)
Presentase dari
seluruh telur (%)
1
2
3
4
Putih Telur
Kuning Telur
Kerabang
Bagian yang dapat
dimakan
33,0
18,5
6,0
51,5
57
32
11
89
*) bukan telur burung puyuh, tetapi telur ayam, telur itik dan sebangsanya
Sumber : Stewart dan Abbot (1972)
2.1.2 Komposisi Kimia Telur
Kadar lemak tertinggi berdasarkan Tabel 2.2 terdapat pada bagian kuning
telur. Protein terdapat baik pada kuning maupun putih telur. Pada putih telur
kandungan proteinnya cukup tinggi yakni 10,9% dan pada kuning telur 16,5%.
Kandungan protein telur secara keseluruhan mencapai 12,7%. Kandungan protein
ini cukup tinggi meskipun 74% bagiannya terdiri dari air, sehingga banyak para
ahli gizi menggunakannya sebagai standar untuk mengkaji kualitas protein bahan
pangan lain (Stadelman dan Cotteril, 1973).
Tabel 2.2 Komposisi Rata-Rata Telur
No Komponen Putih Telur (%) Kuning Telur (%) % Keseluruhan
1 Protein 10,9 16,5 12,7
2 Lemak Sedikit 32,0 11,3
3 Hidrat Arang 1,0 1,0 1,0
4 Air 87,0 49,0 74,0
Sumber : Stewart dan Abbot (1972)
9
2.1.2.1 Putih Telur
Berat putih telur sekitar 60% dari berat total telur utuh. Air dan protein
merupakan komponen terbesar penyusun putih telur. Secara struktural putih telur
terdiri dari empat lapisan yakni albumen encer dalam, albumen encer luar,
albumen kental dan lapisan khalaza (Yamamoto, dkk,, 1997).
Kandungan air pada putih telur lebih banyak dibandingkan dengan bagian
lainnya sehingga selama penyimpanan bagian inilah yang mudah rusak (Romanoff
dan Romanoff, 1963). Kerusakan tersebut terjadi pada jala-jala ovomucin yang
berfungsi sebagai pembentuk struktur putih telur. Kerusakan jala-jala ovomucin
mengakibatkan air dari protein putih telur akan keluar dan putih telur menjadi
encer (Zakiyurrahman, 2006). Putih telur yang semakin encer akan menghasilkan
tirisan buih yang semakin tinggi.
Putih telur terdiri dari protein ovalbumin, konalbumin, ovomukid, lisosim,
ovidin, avoglobulin, dan ovomukin (Yamamoto, dkk., 1997). Ovalbumin adalah
protein terbesar yang menyusun putih telur. Berat molekul ovalbumin sekitar 4.5
x 104. Ovalbumin merupakan protein dalam putih telur yang mengandung empat
gugus-SH (Sulfihidril), tiga diantaranya reaktif terhadap p-khloromerkuribensoat
dan satunya reaktif dalam denaturasi protein. Nakai dan Modler (1997)
menyatakan bahwa s-ovalbumin merupakan turunan dari ovalbumin akibat
penyimpanan yang meningkatkan pH. Jika kandungan s-ovalbumin meningkat
maka tirisan buih akan meningkat, sehingga stabilitas buih putih telur akan
menurun.
10
Ovomukin merupakan glikoprotein yang mempunyai struktur seperti gel,
berwarna putih, lentur dan berserat. Terdapat di dalam lapisan putih telur kental
empat kali lebih banyak daripada yang terdapat di dalam lapisan putih telur encer,
oleh karena itu ovomukin inilah yang memberikan struktur kental pada putih telur.
Ovomukin berfungsi menstabilkan struktur buih. Pada pengocokan yang
berlebihan akan mengakibatkan penggumpalan sebagian ovomucin dan
memperkecil elastisitas gelombang buih (Stadelman dan Cotterill, 1973).
Ovoglobulin merupakan protein putih telur yang mengandung tiga fraksi
protein yaitu G1, G2, dan G3. Ovoglobulin ini berperan dalam stabilitas buih
putih telur (Yamamoto, dkk., 1997). Protein telur, terdistribusi di dalam putih
telur dan kuning telur secara komplet dengan unsur asam amino yang seimbang.
Komposisi asam amino di dalam telur dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Komposisi Asam Amino Telur Ayam
(Gram tiap Telur)
Sumber: Yamamoto, dkk. (1997)
11
2.1.2.2 Kuning Telur
Kuning telur mengandung protein berupa LDL, HDL, phosvitin,
livetin dan protein lainnya. LDL atau low density lipoprotein merupakan protein
mayor pada kuning telur yakni 65% dari total protein yang ada. Livetin pada
kuning telur adalah protein yang larut air (Yamamoto, dkk., 1997).
Lemak yang berada dalam kuning telur adalah trigliserida,
phospolipid, sterol dan cerebrosida. Asam lemak dominan pada trigliserida ini
adalah asam oleat (18:1), linoleat (18:2), asam stearat (18:0) dan asam palmitat
(16:0) (Yamamoto, dkk., 1997). Komposisi lemak di dalam telur ayam dapat
dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Komposisi Lemak pada Telur Ayam
Sumber: Yamamoto, dkk. (1997)
Asam lemak yang mempunyai atom C lebih dari 12 mempunyai sifat
tidak larut dalam air dingin maupun air panas (Winarno, 2004). Pada telur, asam
12
lemak yang dominan mempunyai asam lemak lebih dari 12 atom C, sehingga
asam lemak pada telur mempunyai sifat yang tidak larut air.
Phospolipid merupakan komponen penting pada lipoprotein kuning
telur. Phospolipid merupakan ester asam lemak dan gliserol yang mengandung ion
fosfat. Phospolipid ini terdiri dari gugus hidrofilik dan gugus lipofilik. Oleh
karena itu, phospolipid menunjukkan sifat emulsifier. Kuning telur merupakan
emulsifier alami yang baik dan digunakan secara luas dalam industri pangan
(Yamamoto, dkk., 1997). Fosfolipid kuning telur terdiri dari fosfatidil kolin
73,00%, fosfatidiletanolamin 15,00%, lysofosfatidil kolin 5,80%, spingomyelin
2,50%, lysofasfatidil etanolamin 2,10%, plasmalogen 0,90% dan inositol
fosfolipid 0,60% (Stadelman dan Cotterill, 1973).
Lesitin, kolesterol, lipoprotein dan protein adalah komponen penstabil
emulsi pada kuning telur. Lesitin mempunyai bagian yang larut dalam minyak dan
bagian yang mengandung PO43- (polar) yang larut dalam air (Winarno, 2004).
Oleh karena itu, lesitin dapat digunakan sebagai emulsifier. Lesitin akan
menstabilkan emulsi minyak dalam air, sedangkan kolesterol cenderung
menstabilkan emulsi air dalam minyak, sehingga karena kadar lesitin lebih besar
daripada kolesterol dengan perbandingan 4,73 : 1 , maka kuning telur lebih mudah
menstabilkan minyak dalam air (Yamamoto, dkk., 1997).
2.1.3 Telur Ayam Infertil
Pada proses penetasan menggunakan mesin tetas biasanya diperoleh telur
ayam infertil pada saat candling. Telur infertil dideteksi dengan cara diteropong
13
(candling) menggunakan cahaya. Telur infertil akan tampak terang saat candling.
Telur yang nampak terang saat proses candling sebenarnya tidak hanya telur
infertil saja tetapi juga telur yang embrionya mengalami mati dini. Namun pada
proses candling semua telur tampak terang disebut sebagai telur infertil karena
penampakannya sama (Nuryati, dkk., 2002).
Menurut Nuryanti, dkk. (2002) telur tampak terang pada saat candling
disebabkan karena telur infertil atau embrio dalam telur mengalami mati dini.
Telur infertil sendiri dapat disebabkan karena perbandingan antara pejantan dan
induk kurang seimbang pada saat proses pembuahan, gizi pejantan dan induk
ayam kurang sempurna (vitamin A dan E), umur pejantan dan induk yang terlalu
tua atau muda, dan kurang aktif atau kualitas sperma kurang baik. Embrio di
dalam telur mengalami mati dini disebabkan karena faktor penyimpanan telur
tetas yang kurang baik dan penyimpanan terlalu lama, sehingga menyebabkan
mikrobia masuk ke dalam telur dan merusak isi telur serta fumigasi terlalu lama
atau dosis fumigan terlalu tinggi juga dapat menjadikan embrio telur mati dini.
Pada proses penetasan menggunakan mesin tetas digunakan telur tetas
yang diperoleh dari ayam betina yang dicampur dengan ayam jantan agar telur
yang dihasilkan fertil. Namun, pada kenyataannya tidak seluruh telur yang
dihasilkan fertil. Fertilitas telur tetas dihitung dengan membandingan telur tetas
fertil dengan keseluruhan telur tetas yang masuk ke dalam mesin penetas
(Wibowo dan Juarini, 2008). Pada penelitian yang dilakukan oleh Muryanto, dkk.
(2004) fertilitas telur ayam ras adalah 73,3-83,5%.
14
Telur ayam infertil biasanya dijual sebagai telur konsumsi serta untuk
bahan pada pengolahan produk pangan. Telur infertil dapat diperoleh dengan
harga yang jauh lebih murah daripada telur yang berada di pasaran. Harga telur
infertil sekitar Rp. 350 -Rp. 500 per butir pada tahun 2012 (Anonim, 2012).
2.1.4 Candling
Candling adalah proses peneropongan telur menggunakan cahaya untuk
melihat perkembangan embrio dalam telur. Tujuan dari candling adalah untuk
mengetahui keadaan telur tersebut embrionya hidup atau mati, fertil atau infertil.
Pada saat candling telur infertil dan telur yang embrionya mengalami mati dini
akan tampak terang jika diteropong (Nuryanti, dkk., 2002).
Candling dapat dilakukan setelah telur melewati masa kritis pertama.
Masa kritis merupakan waktu yang sangat penting dalam proses pembentukan dan
perkembangan embrio selama telur ditetaskan. Menurut Sudjarwo (2012) pada
masa kritis pertama yang terjadi pada hari ke 1 hingga ke 3 setelah telur
dimasukkan ke dalam mesin tetas, sedangkan menurut Winarto, dkk. (2008) masa
kritis pertama terjadi pada hari ke 2 dan ke 4. Pada saat masa kritis ini terjadi
pembentukan organ vital seperti, pembuluh darah, pembuluh syaraf, otak, jantung
mulai berdenyut dll. Oleh karena itu, proses candling dapat dilakukan setelah
masa kritis pertama pada perkembangan embrio ayam terlewati karena apabila
pada saat masa kritis tersebut telur terganggu maka akan terjadi kegagalan yang
dapat mengakibatkan embrio yang sudah terbentuk mati.
15
Menurut Sudjarwo (2012) waktu candling yang baik ditinjau dari faktor
ekonomis adalah pada hari ke 4 hingga hari ke 7, karena pada saat tersebut telur
infertil yang dihasilkan dapat dijual sebagai telur konsumsi sedangkan apabila
lebih dari 7 hari telur biasanya sudah kopyor, sehingga tidak bisa dijual.
Penentuan waktu candling pada perusahaan penetasan telur berbeda-beda
tergantung kebijakan masing-masing perusahaan. Namun, prinsip yang digunakan
adalah sama yakni candling dilakukan setelah masa kritis pertama, sehingga
candling pertama berkisar pada hari ke 4, ke 5, ke 7 (Syanur, 2013) dan ada juga
candling pada hari ke 10 (Munandi, 2012) untuk memeriksa fertilitas telur.
Candling hari ke 4 merupakan candling yang tidak banyak dilakukan karena
sebagian perusahaan penetasan menganggap pada hari ke 4 telur masuk ke dalam
mesin tetas masih merupakan masa kritis, sehingga mayoritas penetasan
melakukan candling pada hari ke 5, 7 dan 10.
2.1.5 Perubahan Telur Selama Penyimpanan
Semakin lama waktu penyimpanan telur, mutu telur akan semakin
menurun karena terjadinya perubahan sifat fisik telur yang dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan tempat telur berada. Menurut Romanoff dan Rumanoff
(1963), perubahan-perubahan yang terjadi selama penyimpanan telur adalah
perubahan bobot, perubahan internal telur, perubahan fisikokimia telur dan
perubahan yang disebabkan oleh mikrobia. Berikut ini uraian mengenai
perubahan-perubahan yang terjadi pada telur selama penyimpanan.
16
2.1.5.1 Perubahan Umum (Fisik dan Kimia)
Selama penyimpanan, telur akan mengalami kehilangan berat, penurunan
berat jenis, bertambah besarnya kantong udara, penurunan tinggi putih telur,
perubahan warna, perubahan bau, terjadinya perpindahan air dalam telur,
melemahnya membrane vitelin, pembentukan CO2, dan perubahan pH kuning dan
putih telur. Pengurangan berat akibat lama penyimpanan mengakibatkan
terjadinya penurunan berat jenis telur karena volume telur yang tetap dan
bertambah besarnya rongga udara dalam telur (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Menurut Purnomo dan Hadiono (2010), pengurangan berat disebabkan oleh
pengapan air terutama dari putih telur dan hilangnya gas-gas seperti CO2, NH3, N2
dan H2S. Senyawa tersebut merupakan hasil pemecahan senyawa organik.
Penguapan air dapat menurunkan berat telur. Kecepatan pengurangan berat telur
dipengaruhi oleh sifat permebilitas kulit telur, semakin permeable kulit telur maka
penguapan air akan semakin mudah. Selain itu, suhu sekitar penyimpanan juga
mempengaruhi hilangnya air dalam telur. Semakin tinggi suhu udara sekeliling
maka kecepatan penguapan air semakin besar.
Penyimpanan dapat meningkatkan nilai pH telur. Meningkatnya nilai pH
telur terjadi karena penguraian senyawa NaHCO3 menjadi NaOH dan CO2. NaOH
yang dibentuk akan diurai menjadi Na+ dan OH- sedangkan CO2 yang dibentuk
akan menguap, sehingga meningkatkan pH putih telur. Peningkatan pH tersebut
akan membentuk ikatan kompleks ovomucin-lysozym yang menyebabkan kondisi
putih telur menjadi encer (Budiman dan Rukmiasih, 2007).
17
pH putih telur yang naik menyebabkan serabut protein yang berbentuk jala
yakni ovomukin rusak, sehingga air dari protein telur keluar dan mengakibatkan
pengenceran putih telur. Pengenceran putih telur ini akan mempengaruhi kuning
telur. Air yang terlepas dari protein putih telur akan bergerak menuju kuning telur,
sehingga kuning telur membesar (Stadelman dan Cotteril, 1973). Selain itu,
selama penyimpanan telur juga terjadi migrasi lemak dari kuning telur ke putih
telur.
2.1.5.2 Perubahan Mikrobiologis
Telur yang baru dikeluarkan oleh induknya cukup steril. Kontaminan
mikrobia terjadi akibat penanganan telur. Apabila bakteri dapat menetrasi ke
dalam telur melalui pori-pori kulit telur dan mampu hidup dan mencapai kuning
telur maka dapat mengakibatkan pembusukan isi telur tersebut. Aktivitas bakteri
tersebut dapat menyebabkan protein terhidrolisa menjadi asam-asam amino,
hidrolisa lebih lanjut memberikan hasil berupa basa, asam, N2 dan CO2. Hidrolisa
atau oksidasi akan menghasilkan asam lemak dengan bentuk aldehyd dan keton.
Bakteri Aeromonas liquefaciens, Certain enterobacters, Serratia marcescens dan
Pseudomonas fluorescens menghasilkan enzim lesitinase yang mampu
menghidrolisis lesitin kuning telur (Stadelman dan Cotterill, 1973).
18
2.2 Sifat Fungsional Telur
Sifat fungsional telur adalah sifat fisik dan kimia yang terdapat pada telur
selain sifat gizinya yang berperan dalam proses pengolahan pangan (Siregar, dkk.
2012). Sifat fungsional protein ini mencerminkan suatu interaksi komplek antara
komposisi, struktur, bentuk, sifat fisik dan kimia, serta komponen pangan lain
yang tergabung menjadi satu (Kinsella, 1976).
Beberapa sifat fungsional yang ada pada sistem pangan adalah kelarutan,
viskositas, daya ikat air, gelasi, kohesi dan adesi, elastisitas, emulsifikasi, daya
buih, pembentuk adonan, kemampuan membentuk tekstur dan kemampuan
mengikat lemak dan flavor (deMan, 1997). Sifat fungsional dalam sistem pangan
dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Sifat Fungsional Protein dalam Sistem Pangan
Sumber: deMann (1997)
Sifat fungsional telur yang berperan dalam proses pengolahan pangan
adalah pembentuk dan penstabil buih, pemberi warna, pengental, pembentuk gel,
dan pengemulsi (Aini, 2009). Peran sifat fungsional protein pada telur tergantung
pada jenis produk yang akan dibuat. Sifat fungsional protein pada telur berperan
19
menentukan kualitas produk akhir dalam industri pangan. Peran telur dalam
sistem pangan dapat dilihat pada Tabel 2.6.
Tabel. 2.6 Peran Telur dalam Sistem Pangan
Sumber: Aini (2009)
Pada pembuatan sponge cake misalnya, putih telur berperan sebagai
protein yang dapat membentuk buih dan mengembangkan adonan, sedangkan
kuning telur dapat digunakan sebagai emulsifier dan pemberi warna kuning pada
adonan.
20
2.2.1 Buih
Kemampuan protein pada telur sebagai pembentuk buih dan penstabil buih
merupakan sifat fungsional protein pada telur yang berperann dalam proses
pengolahan pangan. Buih merupakan dispersi koloid dimana fase gas terdispersi
pada fase cair. Buih pada putih telur terbentuk karena proses pengocokan yang
mengakibatkan gelembung udara terperangkap dalam putih telur.
Protein putih telur yang berperan dalam pembentukan buih adalah
ovalbumin dan globulin. Sedangkan ovomukin dalam telur akan membuat telur
lebih stabil setelah terbentuk buih. Pembentukan buih diawali dengan terbukanya
ikatan dalam molekul protein, sehingga rantai protein menjadi lebih panjang.
Kemudian udara masuk diantara molekul protein yang terbuka dan bertahan
sehingga volumenya mengembang (Cherry dan Mc Wattersm, 1981). Jika pada
kondisi volume mengembang, buih yang terbentuk dipanasi maka akan terjadi
denaturasi protein, sehingga buih yang terbentuk menjadi lebih stabil dan terjadi
pengembangan adonan (Suhardi, 1988).
Kemampuan membentuk buih diukur berdasar kenaikan volume, pada
pembentukan awal gas menjadi suatu protein yang terdispersi (Kinsella, 1976).
Telur yang baik mempunyai daya buih sebesar 6 sampai 8 kali dari volume awal
putih telur (Budiman dan Rukmiasih, 2007). Stabilitas buih menunjukkan
kemampuan dari buih yang dibentuk untuk bertahan dalam waktu tertentu.
Indikator kestabilan buih adalah besarnya tirisan buih selama waktu tertentu dan
dinyatakan dalam bobot, volume, atau derajat pencairan buih. Tirisan yang banyak
21
menyatakan kestabilan buihnya rendah (Stadelman dan Cotterill, 1973).
Mekanisme pembentukan buih dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Mekanisme Pembentukan Buih (Cherry dan McWaters, 1981)
Mekanisme pembentukan buih menurut Stadelman dan Cotterill (1973)
adalah terjadinya proses penguraian molekul protein, sehingga rantai polipeptida
membentuk sumbu memanjang yang sejajar dengan sumbu permukaan.
Terbukanya ikatan-ikatan pada molekul protein yang memanjang tersebut
kemudian dilanjutkan dengan proses pembentukan lapisan monolayer (adsorbsi).
Cherry dan McWaters (1981) mengatakan adanya perlakuan pengocokan
22
menyebabkan udara masuk ke dalam molekul-molekul protein yang terbuka
rantainya dan tertahan sehingga volume putih telur menjadi bertambah. Lapisan
monolayer ke dua kemudian terbentuk menggantikan lapisan yang terdenaturasi.
Lapisan protein akan saling mengikat untuk mencegah keluarnya air. Lama
kelamaan terjadi agregasi dan melemahnya ikatan yang telah terbentuk tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi buih putih telur adalah lapisan putih
telur, umur telur, pengocokan, pH putih telur, suhu, penambahan bahan lain dan
protein putih telur. Ramanoff dan Ramanoff (1963) menyatakan bahwa umur telur
mempengaruhi daya dan kestabilan buih putih telur. Volume buih putih telur segar
sebesar 350%, sedangkan volume buih putih telur yang disimpan hingga 14 hari
akan meningkat menjadi 425%. Daya buih meningkat seiring dengan pertambahan
umur telur sampai pH optimum pembentukan buih, kemudian daya buih akan
mengalami penurunan. Hubungan antara umur dan kestabilan buih putih telur
menunjukkan bahwa semakin tua umur telur, kestabilan buih semakin menurun.
Volume buih tidak akan mengalami peningkatan setelah dikocok selama
enam menit (Romanoff dan Romanoff, 1963). Penambahan waktu pengocokan
akan meningkatkan volume buih dan memperkecil ukuran gelembung buih,
namun tidak akan memperbaiki volume cake (Stadelman dan Cotterill, 1973).
Pada pH yang semakin meningkat daya buih juga akan meningkat karena
akibat dari kenaikan pH, menyebabkan serabut protein yang berbentuk jala, yakni
ovomucin pecah sehingga air dari protein putih telur keluar dan putih telur
menjadi encer (Zakiyyurahman, 2006). Cairan putih telur yang encer lebih mudah
menyebar daripada putih telur kental sehingga apabila dikocok akan lebih cepat
23
mengikat udara. pH optimum terjadinya buih adalah pada pH 8,75. Romanoff dan
Romanoff (1963) menyebutkan bahwa buih yang stabil terbentuk pada pH
dibawah 8.
Faktor pH mempengaruhi daya buih karena pH berhubungan dengan
kelarutan protein. Pada pH yang mendekati titik isoelektris, kelarutan protein akan
mendekati minimum. Sedangkan kelarutan maksimum terjadi pada pH yang jauh
dari titik isoelektris. Apabila kelarutan protein maksimum, maka protein akan
terdispersi secara homogen, sehingga protein pembentuk buih juga akan tersebar
merata dan menyebabkan buih yang terbentuk lebih banyak (Chayati dan Ari,
2008). Protein yang berperan dalam pembentukan buih adalah ovalbumin dan
globulin, protein tersebut mempunyai titik isoelektris pada pH 4,6 dan 10,7
(Stadelman dan Cotteril, 1973).
Penambahan lemak pada putih telur akan mengganggu pembentukan buih
dan menurunkan volume buih karena adanya lemak pada putih telur akan
mengganggu pembentukan buih karena lemak bersifat surface active daripada
protein, sehingga lemak mudah menyerap pada interface udara-air dan
menghambat penyerapan protein. Lapisan yang dibentuk oleh lemak umumnya
tidak kuat dan tidak elastis, sehingga gelembung udara yang terbentuk mudah
pecah (Chayati dan Ari, 2008). Penambahan garam dan gula dapat membuat
pembentukan buih menjadi stabil. Penambahan air sampai 40% akan
meningkatkan volume buih.
24
2.2.2 Emulsi
Emulsi merupakan suatu dispersi atau suspensi suatu cairan dalam caiaran
yang lain, yang molekul-molekul kedua cairan tersebut tidak saling berbaur tetapi
saling antagonistik (Winarno, 2004). Pada suatu emulsi biasanya terdapat tiga
bagian utama yakni bagian yang terdispersi yang terdiri dari butir-butir yang
biasanya terdiri dari lemak, kedua adalah media pendispersi (continuous phase)
yang biasanya terdiri dari air dan bagian ke tiga adalah emulsifier yang berfungsi
menjaga butiran lemak tetap tersuspensi dalam air. Emulsifier merupakan
senyawa aktif permukaan yang mampu menurunkan tegangan permukaan antar
permukaan antara antar muka udara-cairan dan cairan-cairan. Kemampuan
menurunkan tegangan permukaan ini karena adanya struktur molekul emulsifier
yang mengandung dua gugus yakni polar dan non polar (deMan, 1997).
Kuning telur merupakan suatu emulsi minyak yang terdispersi dalam air
(Stadelman dan Cotterill, 1973). Kuning telur juga merupakan suatu emulsifiying
agent alami yang mempunyai daya emulsifier yang kuat karena kandungan
lesitinnya yang terdapat dalam bentuk kompleks sebagai lesitin-protein (Winarno,
2004). Kompleks lipoprotein dan fosfolipid yang dimiliki oleh kuning telur
memiliki gugus polar dan non polar, sehingga komponen bahan yang
ditambahkan dalam pembuatan suatu produk pangan dapat terdispersi secara
homogen. Selain itu, sifat memerangkap air protein telur dan emulsifikasi dapat
menahan hilangnya air sehingga tekstur yang lembut dapat dipertahankan
(Murwani, 2012). Protein kuning telur memudahkan terjadinya despersi minyak
dalam berbagai komponen penyusun suatu adonan sehingga sifat dan rasa adonan
25
menjadi lezat, dan empuk (pada produk akhir) karena protein dalam telur tersebut
(lipoprotein) bersifat koloid hidrofil yang dapat mengabsorbsi lapisan antar muka
dan menstabilkan emulsi minyak dalam air.
2.2.3 Gelasi
Kemampuan protein untuk membentuk gel sangat penting dalam proses
pengolahan pangan. Teknik pengolahan pangan yang berhubungan dengan
kemampuan pembentukan gel adalah perlakuan menggunakan panas. Pemanasan
pada protein akan menyebabkan denaturasi. Adanya pemanasan dan keberadaan
air, protein dapat membentuk matriks gel dengan menyeimbangkan interaksi
antara protein-protein dan protein-pelarut di dalam produk pangan. Matriks gel ini
dapat mengikat air, lemak, dan ingredient lainnya untuk dapat menghasilkan
berbagai jenis produk, seperti adonan roti, tahu, keju dan yogurt (Andarwulan,
dkk., 2011).
Pada telur, sifat gelasi atau pelekatan yang kuat dari protein telur
memberikan kekompakan antar bahan dalam produk bakery. Protein telur dapat
menyerap dan memperangkap berbagai bahan pencita rasa, mengikat butiran
lemak, memperangkap air, dan gas/udara. Sifat elastis protein dan memperangkap
berbagai bahan lain memberikan tekstur yang lembut (Murwati, 2013).
Kapasitas pembentukan gel merupakan sifat fungsional penting yang
dimiliki oleh protein yang berperan besar dalam menentukan kualitas produk
akhir khususnya sifat tekstural. Gel adalah sistem terlarut yang tidak mengalir,
berada pada fase intermediet antara padat dan cair. Gel terdiri dari dua fase yakni
26
jaringan tiga dimensi makromolekul, yang terbentuk dari ikatan kovalen dan non
kovalen, dan fase cair dan substansi dengan berat molekul rendah yang terjebak
dalam jaringan tersebut (Chayati dan Ari, 2008).
Gel protein terbentuk sebagai akibat terjadinya denaturasi lanjut molekul
protein yang akhirnya terjadi agregasi dan membentuk jaringan. Urutan terjadinya
gel protein adalah denaturasi, pembukaan (unfolding) atau disosiasi dari molekul
protein, yang dilanjutkan dengan agregasi protein atau pengendapan protein yang
mengakibatkan pembentukan gel dibawah kondisi yang sesuai (Andarwulan, dkk.,
2011).
Sifat gel yang terbentuk tergantung dari jenis dan bentuk alamiah ikatan
silang antar dan inter molekul protein. Ikatan kovalen dan non kovalen merupakan
ikatan yang terlibat dalam pembentukan gel. Ikatan kovalen misalnya adalah
ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik yang membantu dalam menstabilkan dan
memperkuat gel, sedangkan ikatan kovalen misalnya, ikatan silang disulfid
berperan dalam menjebatani dan membentuk jaringan gel. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan gel adalah panas, pH, kekuatan ion dan konsentrasi
protein. Panas akan mendenaturasi dan menjadikan bentuk protein membuka dan
memacu terjadinya pertukaran ikatan disulfid dan terjadi pembentukan ikatan
disulfid yang baru (Anonim, 2000).
Kekuatan gel dapat diukur menggunakan alat Universal Testing Machine
(UTM) dengan prinsip penekanan. Semakin tinggi kekuatan gelnya, maka
semakin besar gaya yang dibutuhkan untuk menghancurkan gel tersebut.
27
2.2.4 Water Holding Capacity
Water holding capacity adalah kemampuan protein untuk mengikat air
yang berada dalam bahan pangan atau air yang sengaja ditambahkan ke dalam
bahan pangan tersebut (Sikorski, 2001). Kemampuan protein untuk mengikat air
disebabkan oleh adanya gugus yang bersifat hidrofilik dan bermuatan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya ikat air dari protein adalah pH,
garam, dan suhu. Pada saat muatan negatif dan positif protein sama (mencapai
titik isoelektris), maka interaksi antara protein dengan protein mencapai
maksimum. Interaksi antara protein-protein menurun apabila protein semakin
bermuatan, sehingga interaksi antara air dan protein meningkat, daya ikat air oleh
protein meningkat. Garam dapat menyebabkan muatan listrik dari protein diikat
oleh Na+ dan Cl-, sehingga interaksi antar protein menurun dan mendorong
interaksi protein dan air meningkat. Pada pemanasan hingga 80oC dapat
menyebabkan gelasi protein dimana air akan terperangkap, sehingga daya ikat air
meningkat (Andarwulan, dkk., 2011).
Sikorski (2001) menyebutkan ada dua cara menentukan air yang terikat
oleh protein yakni menghitung jumlah air yang lepas dari sampel yang sudah
mengandung air didalamnya menggunakan gaya, tenaga sentrifugasi atau tekanan
dan cara yang kedua adalah mengukur jumlah air yang dapat terikat ketika sampel
diberi tambahan air. Pengukuran water holding capacity telur menggunakan
metode sentrifugasi karena telur yang digunakan dibuat gel terlebih dahulu tanpa
penambahan air. Tenaga sentrifugasi dapat merusak gel, sehingga air yang terikat
28
dalam gel terlepas. Sedangkan, penentuan daya ikat air dengan cara
menambahkan air ke dalam sampel dilakukan apabila sampel berbentuk kering.
2.2.5 Viskositas
Viskositas adalah gaya hambat atau fraksi internal yang mempengaruhi
kemampuan mengalir suatu bahan (Andarwulan, dkk., 2011). Viskositas berperan
dalam produk pangan seperti minuman, sup, dan saos. Viskositas dapat digunakan
sebagai petunjuk adanya kandungan zat-zat tertentu dalam bahan, petunjuk
adanya kerusakan, penyimpangan atau penurunan mutu pada beberapa produk
pangan.
Pada beberapa produk pangan jika kekentalannya menurun (encer) seperti
pada gelatin dan bubur, maka akan memberikan petunjuk adanya kerusakan atau
penyimpangan mutu. Namun, pada produk yang lain seperti susu, perubahan susu
segar yang encer menjadi kental merupakan petunjuk bahwa susu sudah
mengalami kerusakan.
Sifat kekentalan dan sifat alir produk pangan cair dapat diukur dengan
menggunakan instrument yang disebut viskometer, sehingga bisa menyatakan
berapa nilai kekentalan suatu produk secara kuantitatif. Nilai viskositas yang
semakin besar menunjukkan semakin susah suatu cairan untuk mengalir (kental),
sedangkan nilai viskositas yang semakin rendah menunjukkan cairan yang encer
(Foster, 2004).
Berdasarkan tingkat kekentalan dan kemudahannya untuk mengalir,
produk pangan cair dapat dibagi menjadi dua kelompok cairan newtonian dan
29
cairan non-newtonian. Cairan newtonian adalah cairan yang nilai kekentalannya
tidak dipengaruhi oleh besarnya gaya yang mengalirkan atau menggerakkannya.
Cairan newtonian ini mempunyai sifat encer seperti air, minuman ringan, larutan
gula encer dan larutan asam. Apabila cairan newtonian diberi gaya pengadukan,
kekentalannya tidak akan dipengaruhi oleh gaya tersebut sehingga memiliki
kekentalan yang tetap. Namun, untuk cairan non-newtonian umumnya
ditunjukkan bagi produk yang kental seperti saus, kecap dan madu. Nilai
kekentalan cairan non-newtonian sangat dipengaruhi oleh gaya yang diberikan.
Telur merupakan cairan non-newtonian yang bersifat pseudoplastik karena
kekentalannya akan menurun jika gaya pengalirnya dinaikkan. Semakin besar
gaya yang dikenakan, maka aliran semakin lancar (Andarwulan, dkk., 2011).
Faktor-faktor yang mempengaruhi viskositas adalah, suhu, konsentrasi
protein, kehadiran zat lain, dan berat molekul. Pada kenaikan suhu seperti
pemanasan zat cair menyebabkan molekul-molekulnya memperoleh energi.
Molekul-molekul cairan bergerak sehingga gaya interaksi antar molekul melemah
sehingga viskositas cairan akan turun dengan kenaikan temperature (Kinsella,
1976). Pada konsentrasi protein yang semakin besar menyebabkan peningkatan
viskositas karena molekul protein yang terdispersi tidak lagi bebas dan interaksi
protein-protein menjadi lebih dominan sehingga terjadi peningkatan kekentalan.
Kehadiran zat lain dapat mempengaruhi viskositas, misalnya penambahan gula
yang dapat meningkatkan viskositas, tetapi pada minyak dengan adanya
penambahan air maka akan menyebabkan viskositasnya turun (Mandasari, 2012).
30
2.2.6 Kelarutan
Kelarutan adalah kemampuan suatu zat untuk bisa larut. Jenis-jenis
protein, seperti albumin, globulin, prolamin dan glutelin dapat larut dalam air,
larutan garam encer, 60-80% alkohol alifatik dan 0,2% NaOH (Andarwulan, dkk.,
2011). Kelarutan merupakan salah satu karakretistik penting dari protein karena
kelarutan dapat mempengaruhi sifat fungsional lain. Kelarutan yang baik
diperlukan pada sifat fungsional lain seperti emulsi, buih, gel dan viskositas
karena protein terlarut memberikan penyebaran molekul yang homogen dalam
sistem koloid dan meningkatkan sifat antar muka. Kelarutan dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti pH, kekuatan ion, suhu dan solven organik.
Kelarutan protein pada berbagai pH merupakan sifat fungsional protein
yang sering diukur pertama kali karena sifat ini menentukan tahapan preparasi dan
proses selanjutnya. Kelarutan protein ditentukan oleh sifat ionisasi asam
aminonya di dalam larutan, dimana asam amino dapat bersifat asam atau basa.
Kelarutan protein dalam air mencapai minimum pada pH titik isoelektrik. Pada
pH titik isoelektrik ini protein tidak bermuatan, sehingga tidak terjadi gaya tarik
menarik antar molekul. Pada pH dibawah atau diatas titik isoelektrik, protein
kembali bermuatan positif atau negatif yang menyebabkan kelarutannya
meningkat.
Dalam larutan garam 0.5-1 M, kelarutan protein akan naik sehingga
protein larut dalam larutan garam (salting in). Pada konsentrasi garam lebih besar
daripada 1M, kelarutan protein menurun sehingga protein tidak larut dalam
larutan garam (salting out). Peristiwa salting out yang menyebabkan protein
31
mengendap terjadi karena interaksi antara air dan garam lebih besar daripada
interaksi antara air dan protein sehingga menyebabkan timbul interaksi antar
protein yang menyebabkan bergabungnya anatar protein menjadi gumpalan lalu
mengendap. Pelarut organik dapat membuat protein yang larut dapat mengendap
karena penurunan konstanta dielektrik medium dimana protein terlarut. Pengaruh
suhu dalam kelarutan protein adalah pada suhu 0-40oC kelarutan protein akan
naik, tetapi pada suhu lebih tinggi dari 40oC protein akan tidak larut karena terjadi
gerakan-gerakan air yang meningkat sehingga memutuskan ikatan-ikatan yang
tadinya menstabilkan protein (struktur sekunder, tersier dan kuartener) (Anonim,
2000).
2.2.7 Perubahan Sifat Fungsional
Selama penyimpanan, terjadi perubahan sifat fisik dan kimia telur yang
dapat mempengaruhi sifat fungsional telur. Sifat fungsional yang dominan dan
sering dimanfaatkan adalah daya buih dan emulsifier.
Viskositas merupakan sifat fungsional karena sifat fisik ini mampu
mempengaruhi kualitas dari produk yang dihasilkan. Telur akan mengalami
penurunan viskositas selama penyimpanan karena rusaknya ovomukin, sehingga
air dari protein putih telur keluar dan mengakibatkan pengenceran putih telur.
Pengenceran putih telur ini akan mempengaruhi kuning telur. Air yang terlepas
dari protein putih telur akan bergerak menuju kuning telur sehingga kuning telur
membesar dan menjadi lebih encer, sehingga viskositas telur menurun (Stadelman
dan Cotteril, 1973).
32
Pada putih telur, selama telur mengalami penyimpanan daya buihnya akan
meningkat (Siregar, dkk. 2010). Hal ini terjadi karena penurunan viskositas pada
putih telur akibat rusaknya ovomukin. Putih telur yang encer menghasilkan buih
yang banyak karena cairan putih telur yang encer lebih mudah menyebar daripada
putih telur kental, sehingga apabila dikocok akan lebih cepat memerangkap udara.
Perubahan stabilitas emulsi kuning telur selama penyimpanan dilaporkan
oleh Juliawati (1991) mengalami penurunan selama penyimpanan selama 15 hari.
Hal ini terjadi karena selama penyimpanan terjadi perubahan-perubahan kimiawi
dalam telur akibat degradasi senyawa organik termasuk lesitin (fosfolipid) kuning
telur. Degradasi ini disebabkan kontaminasi mikrobia selama penyimpanan telur
(Stadelman dan Cotterill, 1973).
Flavor telur juga mengalami perubahan selama penyimpanan. Semakin
lama penyimpanan maka akan timbul flavor sulfury dan hydrolyzed protein pada
kuning telur. Tetapi, Miller, dkk. (1960) dalam Stadelman dan Cotterill (1973)
menyebutkan bahwa perubahan flavor akibat bertambahnya umur telur biasanya
tidak dapat dirasakan oleh konsumen.
2.3 Sponge Cake
2.3.1 Pengertian Sponge Cake
Sponge cake merupakan produk yang menggunakan telur utuh (Matz,
1972). Sponge cake merupakan kue yang sangat ringan yang dibuat dengan tiga
bahan dasar yaitu telur, gula, dan tepung terigu, dimana telur dan gula dikocok
lalu di folding hingga menjadi adonan yang ringan. Sponge cake termasuk ke
33
dalam kue bolu yang menggunakan teknik pembuatan dengan cara mengocok
telur dan gula hingga menjadi busa yang halus dan kental (Anonim, 2013).
Stadelman dan Cotterill (1973) menyebutkan bahwa sifat fungsional dari telur
yakni daya buih pada telur utuh dapat diamati pada produk sponge cake.
2.3.2 Fungsi Bahan Pada Pembuatan Sponge cake
Menurut Anonim (1981), berikut ini adalah fungsi bahan pada pembuatan
sponge cake.
1. Tepung merupakan unsur susunan adonan cake dan juga menahan bahan-bahan
lainnya. Fungsi tepung untuk membangun kerangka kue, mengikat bahan lain,
dan mendapatkan tekstur kue yang baik.
2. Gula fungsinya memberi rasa manis, memberi warna pada kulit kue, membantu
mengempukkan kue, melembapkan kue, dan melemaskan adonan. Gula akan
mematangkan dan mengempukkan susunan sel dan bila presentase gula terlalu
tinggi dalam adonan, maka hasil cake akan kurang baik, cenderung "jatuh"
bagian tengah-tengahnya.
3. Telur membentuk suatu kerangka yang bertugas membantu pembentukan
susunan bentuk cake. Telur juga akan memberi cairan, aroma, rasa, nilai gizi,
dan warna pada kue. Telur juga dapat melembabkan kue. Lesitin pada kuning
telur mempunyai daya pengemulsi, sedangkan lutein dapat memberi warna
pada hasil akhir produk.
4. Susu yang digunakan sebagai susu padat kering maka cake akan mempunyai
susunan yang lengkap. Laktosa gula susu menghasilkan warna kerak. Susu
34
padat membangkitkan rasa (aroma) dan merupakan bahan penahan cairan yang
baik.
5. Garam mampu membangkitkan rasa atau aroma. Selain itu, garam juga dapat
menurunkan suhu penggulalian dalam adonan, dan memegang peranan penting
dalam menimbulkan warna kerak.
2.3.3 Proses Pembuatan Sponge Cake
Pada pembuatan sponge cake, telur dan gula dikocok dengan kecepatan
tinggi hingga telur berwarna pucat, ringan, kental dan apabila mixer diangkat,
adonan akan menghasilkan bentuk pita (disebut juga ribbon stage peak). Setelah
itu, penuangan tepung terigu dilakukan dengan teknik folding yakni menuangan
secara perlahan-lahan sembari dilakukan pengadukan secara manual. Apabila
adonan telah tercampur merata, kemudian dimasukkan ke dalam oven yang telah
dipanaskan pada suhu 180oC dan dipanggang selama kurang lebih 30 menit
(Wibowo, 2012).
2.3.4 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kualitas Sponge Cake
Kriteria hasil sponge cake yang baik adalah ringan, berongga kecil,
lembut, dan mengembang (Kalukiningrum, 2012). Kualitas sponge cake
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, kecocokan bahan yang digunakan,
keseimbangan bahan dalam formula yang dipakai, dan tahapan proses pembuatan,
baik dalam pengadukan maupun saat pemanggangan (Setiadi, 2013). Sedangkan
menurut Darningsih (2013), kualitas sponge cake dipengaruhi oleh mutu bahan
35
yang digunakan, proses pencampuran adonan, metode pembuatan, dan lama
pembakaran serta temperatur pembakaran.
Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas produk sponge
cake :
1. Kualitas bahan yang digunakan
Spong cake dari bahan utama tepung terigu, gula, dan telur. Kualitas dari
bahan-bahan tersebut sangat menentukan hasil akhir produk sponge cake yang
dihasilkan. Telur merupakan bahan yang paling utama dalam pembuatan sponge
cake karena telur berperan membentuk struktur mengembang dan struktur pori,
sehingga telur yang digunakan harus bermutu baik. Gula pasir merupakan bahan
yang paling baik ntuk pembuatan sponge cake. Tepung terigu yang bagus untuk
membuat sponge cake adalah tepung terigu protein rendah yang berwarna putih
dengan butiran-butiran yang seragam sangat cocok untuk pembuatan sponge cake
yang berkualitas (Anonim, 1981).
2. Keseimbangan bahan dalam formula
Hal yang membedakan sponge cake dengan cake yang lain adalah
keseimbangan formula dasarnya. Pada sponge cake, perbandingan cairan (telur,
susu cair, atau air) harus lebih banyak dari berat gula, dengan perbandingan
mencapai 1: 1,25. Perbandingan berat telur, gula dan tepung adalah 2 :1 :1 (dalam
ukuran gram) (Setiadi, 2013). Selain itu, untuk menghasilkan sponge cake yang
berkualitas bahan-bahan yang digunakan harus ditimbang dengan teliti.
Apabila bahan cair, seperti telur, susu dan air yang ditambahkan terlalu
banyak dapat membuat volume cake berkurang dan turun saat pemenggangan.
36
Namun, apabila terlalu sedikit bahan cair juga akan membuat cake yang
dihasilkan terlalu rapat, kasar, menimbulkan kerak tebal, kue terlalu cepat matang
dan tidak sempat mengembang.
Penggunaan gula yang terlalu banyak pada formula dapat mengakibatkan
cake runtuh dan timbul bintik-bintik putih karena tertinggalnya partikel-partikel
gula di atas permukaan cake. Selain itu, terlalu banyak gula juga menyebabkan
cake mengembang diluar batas-batas ketentuan susunan dari terigu dan telur,
sehingga keruntuhan cake terjadi menjelang akhir pembakaran (Anonim, 1981).
Apabila penambahan tepung terigu kurang maka, cake yang dihasilkan
menjadi terlalu lembek dan mudah mengempis. Namun, apabila tepung yang
ditambahkan terlalu banyak maka adonan sponge cake akan mudah runtuh dan
cake yang dihasilkan menjadi terlalu kokoh dan padat teksturnya (Amaliafitri,
2010).
3. Metode pembuatan
Pada proses pembuatan sponge cake, pengocokan telur memegang peranan
yang sangat penting dalam menentukan kuaitas sponge cake yang ringan dan
bergas. Sponge cake yang ringan dapat diperoleh dari pengocokan yang tepat dan
teliti sehingga dapat membentuk buih yang baik dan kokoh (Anonim, 1981).
Pengocokan telur yang baik dilakukan pada suhu sekitar 43oC (Wibowo,
2012), sedangkan menurut Anonim (1981) suhu pengocokan telur yang baik
adalah 100oF-120oF (38oC-49oC). Tetapi apabila suhu pengocakan telur terlalu
panas, akan membuat telur menjadi beku dan sponge cake yang dihasilkan
berkualitas rendah. Pencampuran adonan yang berlebih dapat membuat hilangnya
37
udara dalam adonan sponge cake, sehingga cake tidak dapat berkembang rata,
bagian samping cake rendah dan bagian tengah cake memuncak. Apabila
pencampuran adonan cake kurang, maka cake tidak mempunyai cukup udara
untuk berkembang.
Pemanggangan adonan juga mempengaruhi sponge cake yang dihasilkan.
Adonan sponge cake harus dipanggang pada suhu 370oF sampai 425oC (187oC
sampai 218oC). Suhu yang digunakan tersebut sesuai dengan ukuran dan jenis
cake yang dibuat. Apabila suhu yang digunakan dalam pemanggangan sponge
cake terlalu rendah maka akan dihasilkan sponge cake dengan butiran-butiran
kasar, warna cake tidak cerah, lama matangnya, dan cake rata pada bagian atas.
Sedangkan pemanggangan dengan suhu tinggi membuat cake yang dihasilkan
mempunyai kerak tebal dan gosong. Selain itu, apabila suhu oven bagian atas
terlalu panas akan membuat cake matang sebelum waktunya dan keraknya akan
merekah sewaktu isi berkembang. Waktu pemanggangan cake yang kurang akan
mengakibakan cairan dibagian tengah cake tidak matang. dengan sempurna
sehingga isi dibawah kerak atas kurang matang (Anonim, 1981).
2.4 Hipotesis
Sifat fungsional telur ayam ras infertil mengalami perubahan dengan
bertambahnya waktu pemeraman. Tingkat kesukaan panelis semakin menurun
terhadap sponge cake yang dibuat menggunakan telur utuh ayam ras infertil
dengan waktu pemeraman yang semakin lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar